PENDAHULUAN
Perawatan postanesthesia ( PACU ) dikenal sejak
50 tahun terakhir. Deskripsi pertama adalah dari tahun 1801 pada Newcastle
Infirmary (Balai Pengobatan New Castle) di Inggris dan mendahului anestesi
modern. Dua kamar, masing-masing dengan lima
ranjang dan bersebelahan dengan ruang operasi, dicadangkan untuk pasien yang
sakit serius atau yang setelah menjalani operasi mayor. (1)
Pada tahun 1863, Florence
Nitingale menulis: “Ini sesuatu yang khusus, di rumah sakit negara kecil,
memiliki ruang istirahat atau ruang kecil terkemuka pada kamar operasi dimana
pasien tetap berada disana hingga mereka pulih, atau setidaknya pulih dari efek
operasinya.” .(1)
Perawatan pasca anestesi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
pelayanan perioperatif (perianestesi) yang selengkapnya merupakan gabungan yang
berurutan dari pelayanan pra anestesi, intra anestesi, dan pelayanan postanestesi.
Disiplin ilmu yang terlibat dalam pelayanan perioperatif juga merupakan
gabungan dan ilmu penyakit dalam, ilmu bedah dan ilmu anestesi dalam proporsi
yang dinamis berdasar atas sifat dan keterkaitannya dengan permasalahan
penderita. Disamping itu prosedur pembedahan dan kondisi penderita selama
pembedahan mempunyai implikasi yang jauh ke dalam periode pasca anestesi dini,
bahkan dapat berlanjut ke periode pasca anestesi ( 2 )
Pulihnya kesadaran penderita baik dari anestesi umum maupun anestesi
regional dapat menyisakan beban berat pada penderita berupa stres fisiologis
dan berbagai akibatnya. Pada jaman sebelum tersedianya unit khusus pulih sadar
pasca anestesi (Postanesthesia Care Unit/PACU atau RR), banyak terjadi kematian
yang kemudian ternyata bahwa sebagian besar kematian tersebut termasuk kematian
yang dapat dicegah ( preventable ). Kenyataan tersebut mendorong perlunya
dibangun unit perawatan pasca-anestesi yang mampu menangani kemungkinan
timbulnya kedaruratan pasca-anestesia baik kedaruratan respirasi maupun
sirkulasi yang pada jaman tersebut relative jarang tertolong. Dengan
tersedianya unit khusus untuk perawatan Post Anesthesia Care Unit , bila timbul
kedaruratan pasca anestesi tidak lagi selalu mengancam jiwa penderita pasca anestesi. Staf
perawatan PACU yang terlatih umumnya sudah mampu mengatasi masalah kedaruratan
pasca anestesi, dan angka kematian yang ‘preventable’ jumlahnya menurun
drastis.(2,3)
TRANSPORT PENDERITA DARI KAMAR OPERASI
Untuk mencegah timbulnya penyulit yang
mengancam jiwa, transfer penderita ke unit pulih sadar harus memenuhi beberapa
persyaratan, meliputi:
1. Ekstubasi di kamar bedah ,
hanya bila perlu saja ekstubasi di PACU.
2. Posisi penderita sesuai
dengan macam operasinya.
3. Oksigenasi selama
transport, bila perlu menggunakan ‘bag and mask’.
Pada pembedahan elektif dengan napas
terkendali dan tanpa penyulit, segera sesudah pembedahan selesai, idealnya
pernapasan dikembalikan spontan dan kuat, baru kemudian dilakukan ekstubasi di dalam
kamar bedah agar dapat dilakukan penilaian faal sirkulasi, respirasi dan faal
neurologis. Tetapi dalam keadaan tertentu misalnya kemungkinan perlu
reintubasi, sebaiknya ekstubasi tetap di kamar bedah , karena tempat dan
peralatan sudah tersiapkan. Tetapi penderita dengan kondisi medis pra dan atau
pasca operatif tertentu yang
dipertimbangkan tidak segera dilakukan ekstubasi dulu, maka ekstubasi dilakukan
di RR, sesudah kondisi medis menjamin tidak akan terjadi penyulit, baru
dilakukan ekstubasi, contoh : penderita pasca torakotomi, kraniotomi, postoperatif
abdomen atas, maksilofasial, pasca operasi dengan tekanan intra kranial
meninggi, kondisi hemodinamik yang belum stabil, pasca operasi dengan
hipotermia, penderita takut dan tidak mau bemapas sendiri, serta penderita
dengan hasil analisa gas darah tidak adekuat. Untuk kelompok penderita tersebut
sebaiknya ETT dibiarkan tetap terpasang, dan ekstubasi dilakukan di PACU.(
2,4)
Transport penderita anak pasca operasi hanya dengan oksigenasi udara
kamar, dapat menimbulkan transien hipoksemia dan saturasi menurun dibawah 90%,
kejadian tersebut meliputi 30-50% penderita .
Oleh karenanya proses transport penderita postoperatif
perlu suplementasi oksigen- (dewasa, sedikitnya 3 L/mnt nasal). Penderita dengan riwayat disfungsi paru,
posisi diatas troli dan di PACU sebaiknya posisi ‘head-up’, penderita dengan
riwayat PPOK posisi juga ‘head-up’ dengan supplementasi oksigen cukup dibawah 3
l/mnt. Nasal, dan pada penderita dengan resiko perdarahan didalam jalan napas
atas atau muntah, posisi sebaiknya miring. Disamping itu posisi diatas troli
sebaiknya kepala penderita di bagian belakang dan pendorongnya harus oleh
perawat terlatih, sedangkan kaki dibagian depan boleh didorong oleh perawat
siapa saja, karena dalam hal ini yang terpenting adalah respirasi.(3,4)
Serah terima penderita pasca operasi harus
dilakukan secara tertulis antara perawat kamar bedah dengan perawat PACU. Dalam
serah terima tersebut disebutkan juga masalah ETT, riwayat medis yang lalu,
tinjauan singkat kondisi pra-anestesi, intra operatif dan pengobatan yang telah
diberikan, riwayat alergi, terjadinya perdarahan intra operatif, pemberian
cairan, diuresis, serta kejadian khusus atau penyulit selama pra dan intra
operatif. Dalam hal terjadi kedaruratan, dokter ahli anestesi sebaiknya tetap
berada didekat penderita sampai kondisi penderita stabil, baru tanggung jawab
dikembalikan kepada perawat PACU. .(4)
INDIKATOR
PULIH SADAR
Penderita dewasa untuk pulih sadar
memerlukan waktu sekitar 30 – 60 menit akan tetapi bila penderita pasca operasi
diyakini sudah aman , bisa dipindahkan ke bangsal . Kondisi pulih sadar
ditandai dengan timbulnya :
1.
Reflek protektif, untuk mencegah kemungkinan terjadinya obstruksi jalan napas
Dan stabilitas kardio respirasi sehingga
bisa menelan ludah, batuk & muntah .
2.
Reflek Baro reseptor untuk menunjang perfusi dan hemodinamik .
3.
Reflek Chemo reseptor untuk menunjang respirasi bila terjadi hipoksemia
/ Hiperkabia . (6)
Vital sign dan oksigenasi segera
dicek begitu datang. Setelah itu tensi, nadi, dan respirasi diukur secara rutin
setiap 5 menit selama 15 menit atau sampai stabil dan setelah itu setiap 15
menit. Meskipun kejadian hipoksia tadak ada hubungan dengan tingkat kesadaran,
oksimetri sebaiknya dipasang kontinyu pada semua pasien yang pulih dari
anestesi umum paling tidak sampai sadar penuh. Temperatur paling tidak diukur
sekali. Setelah vital sign awal dicatat, anestesiolog sebaiknya memberikan
penjelasan singkat kepada perawat PACU tentang riwayat preoperasi, kejadian
intra operasi (tipe anestesi, prosedur pembedahan, darah yang hilang,
penggantian cairan, dan komplikasi-komplikasi), perkiraan masalah-masalah post
operasi, dan instruksi post anestesi (perawatan kateter epidural, transfusi,
ventilasi post operasi). ( 1 )
Semua pasien yang sadar dari anestesi umum
sebaiknya mendapat 30-40% oksigen selama pemulihan karena hipoksia sementara
dapat terjadi pada pasien yang sehat. Para pasien yang beresiko tinggi terjadi
hipoksia seperti yang punya gangguan fungsi paru atau pembedahan perut atas
atau dada, sebaiknya dimonitor kontinyu dengan oksimetri. Pilihan rasional
melanjutkan terapi oksigen pada saat keluar dari PACU dapat dibuat berdasarkan
pembacaan saturasi O2 pada udara kamar. Analisa gas darah dapat dilakukan untuk
konfirmasi bacaan oksimetri yang tidak normal. Terapi oksigen harus dikontrol
dengan hati-hati pada pasien dengan penyakit paru obstruktif menahun dan
riwayat retensi CO2. Pasien diposisikan head up untuk mengoptimalkan
oksigenasi. Elevasi kepala
bed sebelum pasien responsive dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas. Dalam
beberapa kasus pipa nasal atau oral dibiarkan sampai pasien bangun. Nafas dalam
dan batuk sebaiknya dianjurkan secara periodik. (
1,7 )
KOMPLIKASI
Problem respirasi merupakan komplikasi serius yang paling sering ditemukan
di PACU. Kebanyakan berhubungan dengan sumbatan jalan
nafas, hipoventilasi dan hipoksemia :
1.
Komplikasi Respirasi .
Problem-problem respirasi adalah komplikasi serius yang paling
sering ditemukan di PACU. Kebanyakan berhubungan dengan sumbatan jalan nafas,
hipoventilasi dan hipoksemia. Karena hipoksemia adalah jalan akhir menuju
morbiditas dan mortalitas, monitor rutin oksimetri denyut di PACU akan
mengenali lebih awal komplikasi –komplikasi ini dengan hasil yang sedikit agak
menyimpang. ( 1,7,8 )
Sumbatan Jalan Nafas
Sumbatan jalan nafas pada pasien tidak sadar adalah
tersering karena lidah jatuh ke belakang ke pharing posterior. Penyebab lainnya
adalah spasme laring, udema glottis, sekresi, muntahan, darah di jalan nafas,
atau tekanan luar dari trakea (tersering karena hematoma di leher). Sumbatan parsial jalan nafas biasanya
diketahui dengan adanya respirasi sonor. Sumbatan total menyebabkan aliran
udara terhenti, suara nafas menghilang, dan ditandai dengan gerakan
paradoksal dada (saat inspirasi dada
turun sedang perut naik). Pasien dengan sumbatan jalan nafas harus diberi
suplemen oksigen sementara ukuran koreksi dikerjakan. Kombinasi gerakan
mendorong rahang dan memiringkan kepala akan menarik lidah ke depan dan membuka
jalan nafas.
Memasang pipa nasal atau oral sering meringankan
masalah. Pipa nasal lebih ditolelir oleh pasien-pasien selama pemulihan dan
lebih sedikit kemungkinan trauma pada gigi bila mereka menggigil .(
1,7,8 )
Jika manuver diatas gagal,
spasme laring harus dipertimbangkan. Karakteristik dari spasme laring adalah
suara tinggi nyaring dan mungkin juga
diam jika glottis tertutup. Spasme dari pita suara adalah lebih mudah terjadi
pada trauma jalan nafas, atau instrumentasi berulang, atau stimulasi dari
secret atau darah di jalan nafas. Manuver jaw thrust , terutama bila
dikombinasikan dengan tekanan positif jalan nafas lewat face mask, biasanya
dapat mengakhiri spasme laring. Memasukkan alat jalan nafas oral atau nasal juga membantu dalam menjamin
patensi jalan nafas bawah sampai pada pita suara. Sekret atau darah pada jalan
nafas harus disedot untuk mencegah kekambuhan. Spasme laring yang parah harus
diterapi agresif .
Dengan dosis kecil suksinilkolin
(10-20 mg) dan ventilasi tekanan positif dengan O2 100% untuk sementara waktu
guna mencegah hipoksia berat atau udema paru tekanan negatif. Intubasi
endotrakea kadang-kadang diperlukan untuk menjaga ventilasi. Crico tirotomi
atau jet ventilasi transtrakea diindikasikan jika intubasi tak segera berhasil. ( 7 )
Udema glotis setelah instrumentasi jalan
nafas adalah penyebab penting sumbatan jalan nafas pada bayi dan anak-anak
muda. Kortikosteroid i.v (dexamethason 0,5 mg/kg) atau aerosol rasemik
epinephrine (0,5 ml larutan 2,25 % dengan 3 ml NS) mungkin membantu dalam
kasus-kasus semacam ini. Luka hematoma post operasi setelah prosedur bedah
kepala dan leher, tiroid, dan carotid dapat membahayakan jalan nafas dengan
cepat. Pembukaan luka tersebut segera menghilangkan kompresi trakea. Kasa yang
tertinggal tak sengaja di hipopharing pada bedah mulut dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas total cepat
atau lambat. ( 7,8 )
Hipoventilasi
Komplikasi hipoventilasi pasca anestesi sering terjadi dan biasanya
tidak menimbulkan akibat klinis yang bermakna. Komplikasi ini baru bermakna
apabila kadar PaCO2 lebih dari 60 mmHg, akan menimbulkan masalah klinis seperti somnolens,
kelemahan fisik dan obstruksi jalan napas. Bila kadar CO2 meningkat, menimbulkan asidosis respiratorik yang
derajad keasamannya akan meningkat sesuai dengan kenaikan PaCO2 dan
menimbulkan tanda klinis takikardi, meningkatnya kepekaan jantung dan seterusnya
sehingga bisa menyebabkan depresi jantung . ( 1 )
Terjadinya hipoventilasi menyebabkan terjadinya hiperkarbi, yang
penyebabnya dapat bermacam-macam, misalnya:
1.
Operasi
bedah saraf, dapat menimbulkan perlukaan pada pusat respirasi dapat timbul
hipoventilasi, hipoksemia dan hiperkarbi.
2.
Penderita
dengan riwayat ‘sleep apnea’ mungkin disebabkan karena gangguan pusat
pengendalian respirasi. Perlu observasi ketat pada penderita pasca bedah
syaraf.
Pasca anestesi dengan
durasi intra anestesi lama dan stadia anestesi dalam, dapat timbul efek
depresan dari residu bahan anestesi didalam tubuh. Residu tersebut dapat aktif
lagi dan berakibat melemahkan ventilasi, misalnya halothane konsentrasi tinggi,
opiate, barbiturate dan bensodiasepin dengan dosis besar dan lama. Naloxon
dosis 20-40 mcg untuk ‘reversal’ efek opiate, dapat menimbulkan renarkotisasi,
waspada karena nalokson dapat menimbulkan hipertensi, disritmia, bahkan udema
paru. Flumacenil (anexate), untuk reversal efek benzodiasepin. Bila residunya
aktif lagi, dapat menimbulkan hipoventilasi dan hiperkarbi. Demikian pula
penggunaan blokade neuromuskuler intra-anestesi, maka pasca anestesi dapat
timbul kelumpuhan sebagai akibat reversal yang tidak sempurna. Dalam hal ini sebaiknya tidak
dilakukan ekstubasi sampai kekuatan otot kembali normal.Untuk mengujinya
penderita diminta mengangkat kepala atau menjulurkan lidahnya. Bila mampu
mengangkat kepala setidaknya selama 5 detik, atau mampu menjulurkan lidah
setidaknya selama 5 detik, dianggap kekuatan otot kembali normal. (1, 7 )
Hipoksemia
Hipoksemia di PACU biasanya disebabkan oleh
hipoventilasi, peningkatan shunting intra pulmoner dari kanan ke kiri atau
kedua-duanya.Penurunan cardiac output atau kenaikan konsumsi oksigen akan
menonjolkan hipoksemia. Hipoksia diffusi tidak biasa menyebabkan hipoksemia
jika selama pemulihan diberi suplemen oksigen. Hipoksia karena murni
hipoventilasi juga tidak biasa jika pasien menerima suplemen oksigen tanpa
tanda-tanda hiperkapnea atau bersamaan dengan adanya kenaikan shunting intra
pulmoner. Kenaikan shunting intra pulmoner dari penurunan FRC relatif terhadap
closing capacity adalah penyebab tersering hipoksemia setelah anestesi umum.
Penurunan FRC terbesar terjadi pada bedah perut atas atau dada. Kehilangan
volume paru adalah sering dihubungkan dengan mikro atelektasis,
karena mikroatelektasis sering tak kelihatan pada foto dada. Posisi semi upright membantu memelihara FRC. ( 7 )
Hipoksemia pascaoperasi dapat terjadi pada:
1. Adanya riwayat Bronkitis
kronika / PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis).
2. Penderita hiperkarbi
praanestesi, kadar PaCO2 diatas 45 mmHg, karena berbagai penyebab,
dapat dicurigai akan terjadi masalah paru pasca anestesi. Penyebabnya antara
lain: udema paru, emboli paru, pneumotoraks terutama yang terjadi setelah
operasi retroperitoneal atau intra abdominal, patah iga, komplikasi pemasangan
CVP, komplikasi regional analgesia .
Tanda dan gejala
hipoksemia: agitasi tanpa sebab, iritabilitas jantung, sensitivitas kurang peka
(obtundation) atau bradikardi, dan darah berwarna kehitaman.
Penanganan:
Mencari penyebab hipoksemia, diberikan oksigenasi
lewat nasal prong, sungkup muka atau intubasi ETT dengan FiO2
dinaikkan. Pada penderita intubasi ETT, untuk meningkatkan oksigenasi digunakan
mode PEEP, dan bila bernapas spontan, digunakan mode CPAP. Pada penderita tanpa
intubasi, dapat menggunakan CPAP, tetapi waspada perut kembung, aspirasi paru.
Oleh karenanya CPAP sebaiknya hanya digunakan pada penderita yang sadar penuh.
( 7,8 )
2. Komplikasi
kardiovaskular .
Gangguan
sirkulasi yang paling umum di PACU adalah hipotensi, hipertensi dan aritmia. Kemungkinan
ketidaknormalan sirkulasi itu adalah sekunder dari gangguan sirkulasi yang
mendasar yang selalu harus dipertimbangkan sebelum beberapa intervensi yang
lain. (1,7,8 )
Hipotensi
Hipotensi
biasanya disebabkan oleh penurunan venous return pada jantung, gangguan fungsi
ventrikel kiri, vasodilatasi arteri yang berlebihan yang kurang umum.
Hipovolemia adalah penyebab hipotensi paling umum di PACU. Hipovolemia absolut
dapat disebabkan oleh penggantian cairan yang tidak adekuat, sekuesterisasi
cairan yang terus-menerus oleh jaringan (rongga ketiga), atau drainase luka,
serta perdarahan post operasi. Konstriksi vena selama hipotermia mungkin
menutupi hipovolemia sampai suhu pasien mulai naik lagi. Kemudian dilatasi vena
menghasilkan hipotensi yang tertunda. Hipovolemia relatif adalah bertanggung
jawab untuk hipotensi yang dihubungkan dengan spinal atau epidural,
venodilator, dan blokade alfa adrenergik; peningkatan kapasitas vena menurunkan
venous return kendati volume intra vascular sebelumnya normal. Hipotensi yang
berhubungan dengan sepsis dan reaksi alergi biasanya hasil dari kedua-duanya
hipovolemi dan vasodilatasi. Hipotensi yang menyertai tension pneumothorax atau
tamponade jantung adalah akibat dari pemburukan pengisian jantung. .( 7 )
Disfungsi ventrikel kiri pada seseorang
yang awalnya sehat adalah tidak biasa tanpa adanya gangguan metabolisme yang
berat (hipoksemia, asidosis, sepsis). Hipotensi karena disfungsi ventrikel ditemui terutama pada pasien dengan
penyakit arteri koroner atau katup jantung, dan biasanya dicetusksn oleh cairan
yang berlebihan, iskemia myokard, peningkatan afterload akut, atau disritmia.
TERAPI
Hipotensi ringan selama pemulihan
dari anestesi adalah umum dan biasanya mencerminkan penurunan tonus simpatis
yang normalnya berhubungan
dengan tidur atau efek sisa dari agent anestesi, bentuk seperti ini tak
memerlukan terapi. Hipotensi yang
bermakna didefinisikan sebagai penurunan tensi 20-30 % dari tensi basal pasien
dan diindikasikan sebuah kekacauan serius yang memerlukan terapi. Terapi
tergantung pada kemamapuan untuk menilai volume intravaskuler. Peningkatan
tensi setelah bolus caiaran (250-500 ml kristaloid atau 100-250 ml koloid) umumnya mendukung
hipovolemi. Pada hipotensi berat, suatu vasopressor atau inotropik mungkin
diperlukan untuk meningkatkan tensi sampai defisit volume intravaskuler paling
tidak terkoreksi sebagian. Tanda-tanda disfungsi
jantung sebaiknya diperiksa pada pasien-pasien tua dan pasien-pasien dengan
penyakit jantung. Kegagalan pasien untuk segera berespon terhadap terapi
mengamanatkan monitoring hemodinamik invasive; manipulasi dari preload,
kontraktilitas, dan afterload sering diperlukan. Adanya tension pneumothorax,
seperti yang disebabkan oleh hipotensi dengan penurunan suara nafas sesisi,
hiperresonanasi, dan deviasi trakea, adalah suatu indikasi untuk segera
dilakukan aspirasi pleura bahkan sebelum konfirmasi radiografi. Begitu juga
hipotensi karena tamponade jantung, biasanya menyertai trauma dada atau bedah
thorax, sering diperlukan pericardiocentesis atau thoracotomi. (
7 )
Hipertensi
Hipertensi post operasi adalah umum di PACU
dan khususnya terjadi pada 30 menit
pertama setelah tindakan. Rangsangan nyeri dari sayatan, intubasi trakea, atau
kandung kemih penuh, biasanya ikut berperan. Hipertensi post operasi bisa juga
karena aktivasi reflek simpatis, yang menjadi bagian dari respon neuroendokrin
terhadap pembedahan atau hipoksemia sekunder, hiperkapnea, atau asidosis
metabolic. Pasien-pasien dengan riwayat hipertensi sistemik mudah berkembang
menjadi hipertensi di PACU, bahkan tanpa sebab yang jelas. ( 8 )
TERAPI
Hipertensi ringan umumnya tidak memerlukan terapi, tetapi penyebab
reversible sebaiknya dicari. Petanda hipertensi dapat mencetuskan perdarahan
post anestesi, iskemia miokard, gagal jantung atau perdarahan intrakranial.
Keputusan tentang derajat hipertensi dan kapan harus diterapi bersifat
individual. Pada umumnya tensi meningkat lebih dari 20-30% dari basal normal
pasien, atau berkaitan dengan efek samping ( infark miokard, gagal jantung,
atau perdarahan) harus diterapi. Peningkatan ringan sampai sedang dapat
diterapi dengan beta bloker iv seperti labetolol, esmolol, atau propanalol. Ca
chanel blocker nicardipin atau pasta nitrogliserin, serta nifedipine sublingual
juga efektif. Hidralazin juga efektif tapi sering menyebabkan takikardi dan
dihubungkan dengan iskemik miokard dan infark. Petanda hipertensi pada
pasien-pasien dengan cadangan jantung terbatas memerlukan monitor tekanan intra
arterial langsung dan harus diterapi dengan nitroprussid, nitrogliserin,
nikardipin, atau fenoldopam infus intravena. Titik akhir esuaian terapi
sebaiknya di sesuaikan dengan tensi normal pasien itu sendiri. ( 1,7 ,8 )
Aritmia
Gangguan pernafasan yang berperan dalam
memacu aritmia jantung antara lain hipoksemia, hiperkarbia, dan asidosis.
Efek-efek sisa dari agent anestesi, peningkatan aktivitas sistim saraf
simpatis, abnormalitas metabolik lainnya dan adanya penyakit jantung dan paru
juga mempengaruhi pasien untuk terjadi aritmia di PACU.
Bradikardi sering menunjukkan efek sisa dari kolinesterase inhibitor
(neostigmin), opioid sintetis yang poten (sufentanyl) atau beta bloker
(propanolol). Takikardi mungkin menunjukkan efek dari agent antikolinergik
(atropin) atau vagolitik (pancuronium atau meperidine), beta agonis
(albuterol), reflek takikardi (hidralazine), serta penyebab-penyebab umum
seperti nyeri, demam, hipovolemia dan
anemia. Lebih lanjut, anestesi merangsang depresi dari fungsi baroreseptor
membuat frekuensi jantung tak dapat
dipercaya memonitor volume intravaskuler di PACU. Atrial dan ventrikel
premature beat biasanya menunjukkan hipokalemia, hipomagnesemia, atau
peningkatan tonus simpatis. Sebagian besar disritmia tidak memerlukan terapi,
suplemen oksigen harus terus diberikn sambil mencari etiologinya. . ( 1,7 )
KOMPLIKASI – KOMPLIKASI LAINNYA :
Hipertermia
Hipertermi atau
fibris merupakan masalah yang relative tidak sering terjadi pasca operasi. Pada
penderita anak fibris post operatif relative lebih sering terjadi, terutama di
negara maju, dimana penderita anak yang akan mengalami operasi, lama berada
didalam kamar bedah yang dibuat hangat, dan tubuh ditutup kain steril dan hangat
sampai operasi selesai, sehingga tubuhnya relative menjadi panas. Adanya
infeksi, hiperthiroidi, atelektasis, aspirasi pneumoni, pheochromocytoma, juga
menimbulkan hipertermi. Oleh karenanya bila penderita mengalami hipertermi harus diselidiki
apakah panas tersebut sejak praoperatif sudah ada. Kemungkinan adanya hipertermia maligna,
harus disingkirkan lebih dahulu karena bisa berlanjut sampai pasca anestesi,
bahkan dapat fatal. Bila timbul hipertermi biasanya disertai takikardi,
hipotensi dan peningkatan produksi CO2, serta asidosis respiratorik
dan metabolic (hasil analisa gas darah).
Terapi : Kompres dingin, baju
dilepas, selimut lembab, oksigenasi, pada anak acetaminophen per-os atau
per-rektal. ( 1,7
)
Hipotermia
Sering terjadi post operatif, disebabkan karena hilangnya panas akibat
pakaian basah, konduksi/hantaran, penyinaran, juga akibat infuse cairan dingin.
Mekanisme
kompensasi oleh fungsi Hipotalamus dapat tertekan karena anestesi umum.
Terkadang sengaja dibuat ‘hipotermia sedang’ untuk melindungi otak dari cedera
iskemik. Hipotermi berat, dapat merupakan predisposisi terjadinya aritmia
ventrikel, sedangkan hipotermi ringan dapat memperpanjang pulih sadar dari
anestesi. Menggigil dapat meningkatkan konsumsi oksigen , menyebabkan penderita
penyakit coroner mengalami resiko terjadinya iskemia miokard.
Terapi : penderita hipotermi dapat dihangatkan dengan
sinar panas, seiimut hangat, menutup kepala dan dengan infus cairan hangat. . ( 1,7 )
Oliguri
Oliguri pascaoperasi sering disebabkan karena
terjadinya hipovolemi. Cara mengatasi yang utama mengisi volume sirkulasi. Tetapi sebelum memberikan
infus cairan, terlebih dulu harus diselesaikan adanya retensi urine dan
penyebabnya, misalnya tertekuknya Foley kateter, dan untuk meningkatkan jumlah
urine keluar jangan memberikan diuretika, sangat berbahaya, dapat merusak
ginjal. Dengan mencukupi volume sirkulasi, dapat dicegah terjadinya ATN (Acute
Tubular Necrosis). Bila penyebab oliguri klinis belum ditemukan, perlu
pemeriksaan laboratorium, misalnya sodium urine, creatinin urine, osmolaritas
urine, berat jenis urine, dan serum sodium, serum creatinin.
Apabila masih tetap oliguri; mungkin karena resusitasi cairan belum
cukup, sebaiknya dipasang kateter vena sentral (CVC), untuk memantau jumlah
cairan yang masuk tubuh. . (
5,7 )
Mual
dan muntah
Mual dan muntah adalah masalah umum setelah
anestesi umum. Mual juga bisa nampak pada
hipotensi karena anestesi spinal
atau epidural. Peningkatan insiden mual dilaporkan mengikuti pemberian opioid
atau mungkin anestesi dengan N2O,pembedahan intraperitoneal (laparoskopi), dan
bedah strabismus. Peningkatan tonus vagal dengan manifestasi bradikardi
mendadak umumnya didahului atau disertai dengan
muntah-muntah. Anestesi propofol menurunkan insiden mual dan muntah post
operasi. Droperidol i.v 0,05-0,075 mg/kg bila diberikan intra operasi menurunkan mual
post operasi secara bermakna tanpa memperpanjang masa pemulihan; dosis kedua
mungkin diperlukan bila mual masih terjadi di PACU. Metoclopramid 0,15 mg/kg
i.v mungkin seefektif droperidol dan lebih sedikit menyebabkan kantuk. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa jika propofol tidak digunakan selama anestesi,
droperidol mungkin lebih efektif daripada metoklopramid. Selektif
5-hydroxytriptamin (serotonin) reseptor 3 (5HT3) antagonis seperti ondansetron
4 mg (0,1 mg/kb pada anak), granisetron 0,01-0,04 mg/kg dan dolasetron 12,5 mg
(0,035 mg/kg pada anak) juga amat efektif. Ondansetron mungkin lebih efektif
daripada agent lainnya pada anak-anak. Dexamethason 8-10 mg (0,1 mg/kg pada
anak) jika dikombinasikan dengan anti muntah lainnya sangat efektif untuk mual muntah yang sukar disembuhkan.
Propofol dosis rendah (20 mg bolus atau 10 mg bolus dilanjutkan dengan
10mcg/kg/mnt) juga dilaporkan efektif untuk mual muntah post operasi. . ( 7, 8 )
Pulih sadar tertunda (delayed
emergence)
Kecepatan
pulihnya kesadaran akibat agen anestesi inhalasi adalah proporsional langsung
dengan ventilasi alveolar, dan proporsional tidak langsung dengan kecepatan
kelarutannya didalam darah. Ketika proses anestesi berlangsung lama,
terjadi juga peningkatan factor tissue uptake dan faktor konsentrasi rata-rata
agen anestesi yang digunakan. Sehingga bila derajad proses anestesi dalam dan
berlangsung lama, menggunakan agen anestesi yang relative mudah larut seperti
Halothane, dapat memperlambat pulih sadar.
Pulihnya
kesadaran dari anestesi intravena tergantung farmakokinetik obat anestesi yang
digunakan, tergantung redistribusinya. Ketika dosis ditinggikan, berakhimya
pengaruh obat juga meningkat tergantung dari eliminasi half-life obat, sehingga
adanya penyakit hepar, ginjal dan umur tua dapat memperlambat pulih sadar.
Penyebab
utama terjadinya kelambatan pulih sadar adalah residu efek obat akibat ‘over
dose’ relative maupun absolute. Disamping itu minum alcohol, atau kondisi
tertentu praanestesi IV, dapat memperkuat potensi efek anestesi. Kondisi
tersebut antaranya: hipoksia, hiperkarbia hipotensi, hipoglikemia, sepsis,
gangguan asam-basa dan elektrolit, perlu dipertimbangkan. . ( 1, 7 )
Nyeri akut
Masalah pasca operasi yang
menyebabkan pasien sangat menderita adalah nyeri akut yang intens. Nyeri akibat
pembedahan dapat memperberat semua komplikasi pasca operasi, seperti pernapasan
dan pengambilan napas dalam menjadi terbatas .
Nyeri juga menyebabkan takikardi, demikian juga
penggeseran cairan (shift) dan respons fisiologis yang lain akan berubah karena
terjadinya nyeri.
Nyeri sedang sampai berat post operasi di PACU
dapat diobati dengan opioid parenteral atau intra spinal, anestesi regional,
atau blok saraf spesifik. Bila opioid digunakan titrasi
dengan dosis kecil intra vena umumnya aman. Analgesi adekuat harus
diseimbangkan lagi tanpa sedasi. Opioid durasi menengah sampai lama seperti
meperidine 10-20 mg (0,25-0,50 mg/kg pada anak), hydromorphone 0,25-0,50 mg
(0,015-0,02 mg/kg pada anak) atau morphin 2-4 mg (0,025-0,050 mg/kg pada anak)
adalah paling umum dipakai. Efek puncak analgesinya dalam 4-5 menit. Depresi
nafas maksimal khususnya dengan morphin mungkin tak tampak sampai 20-30 menit
kemudian. Bila pasien sadar penuh PCA
(Patien
Controlled Analgesia) dapat diberikan. Pemberian opioid intra muskuler tidak
menguntungkan karena onsetnya bervariasi (10-20 menit) dan depresi nafas yang
tertunda (sampai 1 jam).
Bila dipasang kateter epidural,
pemberian fentanil 50-100 mcg, sufentanil 20- 30 mcg, atau morphin 3-5 mg dapat
sempurna menghilangkan nyeri, akan tetapi depresi nafas yang tertunda dengan
morphin memerlukan perhatian khusus selama 12-24 jam setelah pemberian. . ( 7,8 )
Anestesi
Regional
Pasien yang tersedasi berat dan hemodinamikanya
tidak stabil setelah anestesi regional juga diberi suplemen oksigen di PACU. Tingkat sensorik dan motorik dicatat periodic pada catatan hilangnya
blok. Perhatian dalam bentuk peringatan berulang mungkin diperlukan untuk
mencegah melukai diri sendiri karena gerakan lengan yang tak terkoordinasi pada
blok pleksus brakhialis. Tensi harus selalu dimonitor pada anestesi spinal dan
epidural. Kateter kandung
kemih mungkin diperlukan pada pasien yang dianestesi spinal atau epidural lebih
dari 4 jam. . ( 7 )
Kriteria mengeluarkan penderita dari
PACU
Demi keamanan penderita selanjutnya, pemindahan
penderita dari unit perawatan pasca anestesi ke bangsal dan atau pulang
kerumah, harus memenuhi beberapa kriteria :
1.
Penderita
mampu mempertahankan dan melindungi pernapasan dengan baik.
2.
Mudah
dibangunkan dengan stimuli verbal, dan orientasi penuh.
3.
Hemodinamik stabil,
tak ada komplikasi bedah seperti perdarahan.
4.
Penderita
teraba hangat dan nyaman, mual / muntah minimal.
5.
Tidak
menunjukkan adanya depresi pernapasan 30 menit sesudah pemberian IV opiate yang
terakhir.
6.
Untuk
anesthesia spinal atau epidural, penderita sudah menunjukkan pulihnya motorik
dan sensoris.
Kriteria
lain yang dipakai untuk mengeluarkan penderita dari perawatan post operasi
adalah yang dibuat Aldrete JA pada tahun 1995. ( 5 )
Skor pemulihan
post anestesia dari Aldrete
(Idealnya pasien dikeluarkan
bila skor total 10 atau minimal 9)
Kriteria
Asli
|
Kriteria
Modifikasi
|
Skor
|
Warna
Kulit
Merah
Coklat
Sianotik
|
Oksigenasi
SpO2 >90% dengan oksigen
|
1
|
Pernafasan
Bisa bernafas dalam dan batuk
Dangkal tapi pertukaran adekwat
Apnea atau obstruksi
|
Bernafas dalam
dan batuk bebas
Sesak, dangkal,
terbatas
Apnea
|
0
|
Sirkulasi
Tensi 20% dibawah normal
Tensi 20-50% dibawah normal
Deviasi tensi
> 50% dari normal
|
Tensi ± 20 mmHg dari normal
Tensi ± 20 – 50 mmHg dari normal
Tensi
> 50 mmHg dari normal
|
2
1
0
|
Kesadaran
Sadar, waspada, berorientasi
Dapat dibangunkan tapi tertidur lagi
Tidak respon
|
Sadar penuh
Dapat dibangunkan
Tidak respon
|
2
1
0
|
Aktivitas
Semua ekstremitas bergerak
Dua ekstremitas bergerak
Tidak ada
gerak
|
Semua ekstremitas bergerak
Dua ekstremitas bergerak
Tidak ada gerak
|
2
1
0
|
KESIMPULAN
PACU melakukan perawatan secara
simultan untuk pasien yang sadar dari pembedahan yang rutin , yang pulih dari
anestesi umum . Maka fasilitas dan personil harus berpengalaman dan mampu untuk
memastikan pemulihan dini yang tepat sejalan pasien terjaga dari anestesi dan
memfasilitasi pemulihan segera ketika pasien mencapai kriteria untuk kepulangan
ke bangsal baik pasien pasca operasi dengan general maupun regional yang dimulai
sejak pasien ditransportasikan sampai memenuhi kriteria keluar dari PACU.
Hampir 50 % kematian yang terjadi dalam 24 pertama
dapat dicegah dengan perawatan yang optimal di ruang pemulihan. Kesuksesan dari
ruang pemulihan merupakan faktor utama
dalam evolusi unit perawatan intensif bedah modern di mana kini dikenal sebagai Post Anestesia Care Unit .
Komplikasi yang sering terjadi post operasi baik komplikasi kardiovaskuler
, respirasi atau yang lainnya seperti nyeri, agitasi, menggigil, hipotermia,
mual dan muntah harus mendapatkan perawatan yang optimal , tepat dan cepat di
PACU.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Thomas WF,
Mocario A, The Postanesthesia Care Unit. In: Miller`s Anesthesia.
Sixh Edition, Elsevier Churchill Livingstone, 2005, Vol 2:2703-2723.
2. Seago JA,
Weitz S, Waizak S. Factors influencing stay in the Postanesthesia Care
Unit: a prospective analysis. J Clin
Anesth. 1998; 10 (7): 579-87.
3. Truong L,
Moran JL, Blum P. Post anaesthesia care unit discharge: a clinical scoring
system versus traditional time-based criteria. Anesth Intensiv Care. 2004 Feb; 32(1): 33-42.
4. S.
Dahmani, H. Dupont, J. Mantz, J. Desmonts and H.Keita. Predictive factors of
early morphine requirement in the post-anaesthesia care unit (PACU). Clinical
Investigation. British Journal of
Anaesthesia, 2001, 87(3): 385-389.
5. Aldrete
JA. The post-anesthesia recovery score revisited. J.CIin Anesth, Society for Ambulatory Anesthesia, 1995, 7: 89-91.
6. Cooper G.
Anesthesia Round, Imperial Chemical
Industries ILC, 1986
7. Frederic AB, Postaneshesia Care. In: Morgan G.E et al
(eds),ClinicalAnesthesioloy. 3rd
edition. Lange Medical Book, 2002; 49:
936-947.
8. Edward E, Luca M, The Postanesthesia Care Unit. Clinical Anesthesia Procedures of the Massachusetts General Hospital. Sixth Edition, A
Lippincott Williams & Wilkins, 2002;561-575.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus