Jumat, 04 April 2014

MASALAH KLINIS DI PACU





PENDAHULUAN
Perawatan postanesthesia ( PACU ) dikenal sejak 50 tahun terakhir. Deskripsi pertama adalah dari tahun 1801 pada Newcastle Infirmary (Balai Pengobatan New Castle) di Inggris dan mendahului anestesi modern. Dua kamar, masing-masing dengan lima ranjang dan bersebelahan dengan ruang operasi, dicadangkan untuk pasien yang sakit serius atau yang setelah menjalani operasi mayor. (1)
 Pada tahun 1863, Florence Nitingale menulis: “Ini sesuatu yang khusus, di rumah sakit negara kecil, memiliki ruang istirahat atau ruang kecil terkemuka pada kamar operasi dimana pasien tetap berada disana hingga mereka pulih, atau setidaknya pulih dari efek operasinya.” .(1)
Perawatan pasca anestesi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pelayanan perioperatif (perianestesi) yang selengkapnya merupakan gabungan yang berurutan dari pelayanan pra anestesi, intra anestesi, dan pelayanan postanestesi. Disiplin ilmu yang terlibat dalam pelayanan perioperatif juga merupakan gabungan dan ilmu penyakit dalam, ilmu bedah dan ilmu anestesi dalam proporsi yang dinamis berdasar atas sifat dan keterkaitannya dengan permasalahan penderita. Disamping itu prosedur pembedahan dan kondisi penderita selama pembedahan mempunyai implikasi yang jauh ke dalam periode pasca anestesi dini, bahkan dapat berlanjut ke periode pasca anestesi ( 2 )
Pulihnya kesadaran penderita baik dari anestesi umum maupun anestesi regional dapat menyisakan beban berat pada penderita berupa stres fisiologis dan berbagai akibatnya. Pada jaman sebelum tersedianya unit khusus pulih sadar pasca anestesi (Postanesthesia Care Unit/PACU atau RR), banyak terjadi kematian yang kemudian ternyata bahwa sebagian besar kematian tersebut termasuk kematian yang dapat dicegah ( preventable ). Kenyataan tersebut mendorong perlunya dibangun unit perawatan pasca-anestesi yang mampu menangani kemungkinan timbulnya kedaruratan pasca-anestesia baik kedaruratan respirasi maupun sirkulasi yang pada jaman tersebut relative jarang tertolong. Dengan tersedianya unit khusus untuk perawatan Post Anesthesia Care Unit , bila timbul kedaruratan pasca anestesi tidak lagi selalu mengancam jiwa penderita pasca anestesi. Staf perawatan PACU yang terlatih umumnya sudah mampu mengatasi masalah kedaruratan pasca anestesi, dan angka kematian yang ‘preventable’ jumlahnya menurun drastis.(2,3)

TRANSPORT PENDERITA DARI KAMAR OPERASI
Untuk mencegah timbulnya penyulit yang mengancam jiwa, transfer penderita ke unit pulih sadar harus memenuhi beberapa persyaratan, meliputi:
1.      Ekstubasi di kamar bedah , hanya bila perlu saja ekstubasi di PACU.
2.      Posisi penderita sesuai dengan macam operasinya.
3.      Oksigenasi selama transport, bila perlu menggunakan ‘bag and mask’.
Pada pembedahan elektif dengan napas terkendali dan tanpa penyulit, segera sesudah pembedahan selesai, idealnya pernapasan dikembalikan spontan dan kuat, baru kemudian dilakukan ekstubasi di dalam kamar bedah agar dapat dilakukan penilaian faal sirkulasi, respirasi dan faal neurologis. Tetapi dalam keadaan tertentu misalnya kemungkinan perlu reintubasi, sebaiknya ekstubasi tetap di kamar bedah , karena tempat dan peralatan sudah tersiapkan. Tetapi penderita dengan kondisi medis pra dan atau pasca operatif tertentu yang dipertimbangkan tidak segera dilakukan ekstubasi dulu, maka ekstubasi dilakukan di RR, sesudah kondisi medis menjamin tidak akan terjadi penyulit, baru dilakukan ekstubasi, contoh : penderita pasca torakotomi, kraniotomi, postoperatif abdomen atas, maksilofasial, pasca operasi dengan tekanan intra kranial meninggi, kondisi hemodinamik yang belum stabil, pasca operasi dengan hipotermia, penderita takut dan tidak mau bemapas sendiri, serta penderita dengan hasil analisa gas darah tidak adekuat. Untuk kelompok penderita tersebut sebaiknya ETT dibiarkan tetap terpasang, dan ekstubasi dilakukan di PACU.( 2,4)
Transport penderita anak pasca operasi hanya dengan oksigenasi udara kamar, dapat menimbulkan transien hipoksemia dan saturasi menurun dibawah 90%, kejadian tersebut meliputi 30-50% penderita .
 Oleh karenanya proses transport penderita postoperatif perlu suplementasi oksigen- (dewasa, sedikitnya  3 L/mnt nasal). Penderita dengan riwayat disfungsi paru, posisi diatas troli dan di PACU sebaiknya posisi ‘head-up’, penderita dengan riwayat PPOK posisi juga ‘head-up’ dengan supplementasi oksigen cukup dibawah 3 l/mnt. Nasal, dan pada penderita dengan resiko perdarahan didalam jalan napas atas atau muntah, posisi sebaiknya miring. Disamping itu posisi diatas troli sebaiknya kepala penderita di bagian belakang dan pendorongnya harus oleh perawat terlatih, sedangkan kaki dibagian depan boleh didorong oleh perawat siapa saja, karena dalam hal ini yang terpenting adalah respirasi.(3,4)
Serah terima penderita pasca operasi harus dilakukan secara tertulis antara perawat kamar bedah dengan perawat PACU. Dalam serah terima tersebut disebutkan juga masalah ETT, riwayat medis yang lalu, tinjauan singkat kondisi pra-anestesi, intra operatif dan pengobatan yang telah diberikan, riwayat alergi, terjadinya perdarahan intra operatif, pemberian cairan, diuresis, serta kejadian khusus atau penyulit selama pra dan intra operatif. Dalam hal terjadi kedaruratan, dokter ahli anestesi sebaiknya tetap berada didekat penderita sampai kondisi penderita stabil, baru tanggung jawab dikembalikan kepada perawat PACU. .(4)

INDIKATOR PULIH SADAR
            Penderita dewasa untuk pulih sadar memerlukan waktu sekitar 30 – 60 menit akan tetapi bila penderita pasca operasi diyakini sudah aman , bisa dipindahkan ke bangsal . Kondisi pulih sadar ditandai dengan timbulnya :
1. Reflek protektif, untuk mencegah kemungkinan terjadinya obstruksi jalan napas
    Dan stabilitas kardio respirasi sehingga bisa menelan ludah, batuk & muntah .
2. Reflek Baro reseptor untuk menunjang perfusi dan hemodinamik .
3. Reflek Chemo reseptor untuk menunjang respirasi bila terjadi hipoksemia
    / Hiperkabia . (6)




Vital sign dan oksigenasi segera dicek begitu datang. Setelah itu tensi, nadi, dan respirasi diukur secara rutin setiap 5 menit selama 15 menit atau sampai stabil dan setelah itu setiap 15 menit. Meskipun kejadian hipoksia tadak ada hubungan dengan tingkat kesadaran, oksimetri sebaiknya dipasang kontinyu pada semua pasien yang pulih dari anestesi umum paling tidak sampai sadar penuh. Temperatur paling tidak diukur sekali. Setelah vital sign awal dicatat, anestesiolog sebaiknya memberikan penjelasan singkat kepada perawat PACU tentang riwayat preoperasi, kejadian intra operasi (tipe anestesi, prosedur pembedahan, darah yang hilang, penggantian cairan, dan komplikasi-komplikasi), perkiraan masalah-masalah post operasi, dan instruksi post anestesi (perawatan kateter epidural, transfusi, ventilasi post operasi).   ( 1  )
            Semua pasien yang sadar dari anestesi umum sebaiknya mendapat 30-40% oksigen selama pemulihan karena hipoksia sementara dapat terjadi pada pasien yang sehat. Para pasien yang beresiko tinggi terjadi hipoksia seperti yang punya gangguan fungsi paru atau pembedahan perut atas atau dada, sebaiknya dimonitor kontinyu dengan oksimetri. Pilihan rasional melanjutkan terapi oksigen pada saat keluar dari PACU dapat dibuat berdasarkan pembacaan saturasi O2 pada udara kamar. Analisa gas darah dapat dilakukan untuk konfirmasi bacaan oksimetri yang tidak normal. Terapi oksigen harus dikontrol dengan hati-hati pada pasien dengan penyakit paru obstruktif menahun dan riwayat retensi CO2. Pasien diposisikan head up untuk mengoptimalkan oksigenasi. Elevasi kepala bed sebelum pasien responsive dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas. Dalam beberapa kasus pipa nasal atau oral dibiarkan sampai pasien bangun. Nafas dalam dan batuk sebaiknya dianjurkan secara periodik.  ( 1,7  )


KOMPLIKASI
Problem respirasi merupakan komplikasi serius yang paling sering ditemukan di PACU. Kebanyakan berhubungan dengan sumbatan jalan nafas, hipoventilasi dan hipoksemia  :
 1. Komplikasi Respirasi . 
Problem-problem respirasi adalah komplikasi serius yang paling sering ditemukan di PACU. Kebanyakan berhubungan dengan sumbatan jalan nafas, hipoventilasi dan hipoksemia. Karena hipoksemia adalah jalan akhir menuju morbiditas dan mortalitas, monitor rutin oksimetri denyut di PACU akan mengenali lebih awal komplikasi –komplikasi ini dengan hasil yang sedikit agak menyimpang.  ( 1,7,8 )

Sumbatan Jalan Nafas
Sumbatan jalan nafas pada pasien tidak sadar adalah tersering karena lidah jatuh ke belakang ke pharing posterior. Penyebab lainnya adalah spasme laring, udema glottis, sekresi, muntahan, darah di jalan nafas, atau tekanan luar dari trakea (tersering karena hematoma di leher). Sumbatan parsial jalan nafas biasanya diketahui dengan adanya respirasi sonor. Sumbatan total menyebabkan aliran udara terhenti, suara nafas menghilang, dan ditandai dengan gerakan paradoksal  dada (saat inspirasi dada turun sedang perut naik). Pasien dengan sumbatan jalan nafas harus diberi suplemen oksigen sementara ukuran koreksi dikerjakan. Kombinasi gerakan mendorong rahang dan memiringkan kepala akan menarik lidah ke depan dan membuka jalan nafas.
Memasang pipa nasal atau oral sering meringankan masalah. Pipa nasal lebih ditolelir oleh pasien-pasien selama pemulihan dan lebih sedikit kemungkinan trauma pada gigi bila mereka menggigil .( 1,7,8 )
       Jika manuver diatas gagal, spasme laring harus dipertimbangkan. Karakteristik dari spasme laring adalah suara tinggi nyaring  dan mungkin juga diam jika glottis tertutup. Spasme dari pita suara adalah lebih mudah terjadi pada trauma jalan nafas, atau instrumentasi berulang, atau stimulasi dari secret atau darah di jalan nafas. Manuver jaw thrust , terutama bila dikombinasikan dengan tekanan positif jalan nafas lewat face mask, biasanya dapat mengakhiri spasme laring. Memasukkan alat jalan nafas oral atau nasal juga membantu dalam menjamin patensi jalan nafas bawah sampai pada pita suara. Sekret atau darah pada jalan nafas harus disedot untuk mencegah kekambuhan. Spasme laring yang parah harus diterapi agresif .
Dengan dosis kecil suksinilkolin (10-20 mg) dan ventilasi tekanan positif dengan O2 100% untuk sementara waktu guna mencegah hipoksia berat atau udema paru tekanan negatif. Intubasi endotrakea kadang-kadang diperlukan untuk menjaga ventilasi. Crico tirotomi atau jet ventilasi transtrakea diindikasikan jika intubasi tak segera berhasil. ( 7 )
       Udema glotis setelah instrumentasi jalan nafas adalah penyebab penting sumbatan jalan nafas pada bayi dan anak-anak muda. Kortikosteroid i.v (dexamethason 0,5 mg/kg) atau aerosol rasemik epinephrine (0,5 ml larutan 2,25 % dengan 3 ml NS) mungkin membantu dalam kasus-kasus semacam ini. Luka hematoma post operasi setelah prosedur bedah kepala dan leher, tiroid, dan carotid dapat membahayakan jalan nafas dengan cepat. Pembukaan luka tersebut segera menghilangkan kompresi trakea. Kasa yang tertinggal tak sengaja di hipopharing pada bedah mulut dapat  menyebabkan sumbatan jalan nafas total cepat atau lambat. ( 7,8 )

Hipoventilasi
Komplikasi hipoventilasi pasca anestesi sering terjadi dan biasanya tidak menimbulkan akibat klinis yang bermakna. Komplikasi ini baru bermakna apabila kadar PaCO2 lebih dari 60 mmHg, akan menimbulkan masalah klinis seperti somnolens, kelemahan fisik dan obstruksi jalan napas. Bila kadar CO2 meningkat, menimbulkan asidosis respiratorik yang derajad keasamannya akan meningkat sesuai dengan kenaikan PaCO2 dan menimbulkan tanda klinis takikardi, meningkatnya kepekaan jantung dan seterusnya sehingga bisa menyebabkan depresi jantung . ( 1 )
Terjadinya hipoventilasi menyebabkan terjadinya hiperkarbi, yang penyebabnya dapat bermacam-macam, misalnya:
1.     Operasi bedah saraf, dapat menimbulkan perlukaan pada pusat respirasi dapat timbul hipoventilasi, hipoksemia dan hiperkarbi.

2.     Penderita dengan riwayat ‘sleep apnea’ mungkin disebabkan karena gangguan pusat pengendalian respirasi. Perlu observasi ketat pada penderita pasca bedah syaraf.
Pasca anestesi dengan durasi intra anestesi lama dan stadia anestesi dalam, dapat timbul efek depresan dari residu bahan anestesi didalam tubuh. Residu tersebut dapat aktif lagi dan berakibat melemahkan ventilasi, misalnya halothane konsentrasi tinggi, opiate, barbiturate dan bensodiasepin dengan dosis besar dan lama. Naloxon dosis 20-40 mcg untuk ‘reversal’ efek opiate, dapat menimbulkan renarkotisasi, waspada karena nalokson dapat menimbulkan hipertensi, disritmia, bahkan udema paru. Flumacenil (anexate), untuk reversal efek benzodiasepin. Bila residunya aktif lagi, dapat menimbulkan hipoventilasi dan hiperkarbi. Demikian pula penggunaan blokade neuromuskuler intra-anestesi, maka pasca anestesi dapat timbul kelumpuhan sebagai akibat reversal yang tidak sempurna. Dalam hal ini sebaiknya tidak dilakukan ekstubasi sampai kekuatan otot kembali normal.Untuk mengujinya penderita diminta mengangkat kepala atau menjulurkan lidahnya. Bila mampu mengangkat kepala setidaknya selama 5 detik, atau mampu menjulurkan lidah setidaknya selama 5 detik, dianggap kekuatan otot kembali normal. (1, 7 )

     Hipoksemia
Hipoksemia di PACU biasanya disebabkan oleh hipoventilasi, peningkatan shunting intra pulmoner dari kanan ke kiri atau kedua-duanya.Penurunan cardiac output atau kenaikan konsumsi oksigen akan menonjolkan hipoksemia. Hipoksia diffusi tidak biasa menyebabkan hipoksemia jika selama pemulihan diberi suplemen oksigen. Hipoksia karena murni hipoventilasi juga tidak biasa jika pasien menerima suplemen oksigen tanpa tanda-tanda hiperkapnea atau bersamaan dengan adanya kenaikan shunting intra pulmoner. Kenaikan shunting intra pulmoner dari penurunan FRC relatif terhadap closing capacity adalah penyebab tersering hipoksemia setelah anestesi umum. Penurunan FRC terbesar terjadi pada bedah perut atas atau dada. Kehilangan volume paru adalah sering dihubungkan dengan mikro atelektasis, karena mikroatelektasis sering tak kelihatan pada foto dada. Posisi semi upright membantu memelihara FRC.  ( 7 )
Hipoksemia pascaoperasi dapat terjadi pada:
1.   Adanya riwayat Bronkitis kronika / PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis).
2.   Penderita hiperkarbi praanestesi, kadar PaCO2 diatas 45 mmHg, karena berbagai penyebab, dapat dicurigai akan terjadi masalah paru pasca anestesi. Penyebabnya antara lain: udema paru, emboli paru, pneumotoraks terutama yang terjadi setelah operasi retroperitoneal atau intra abdominal, patah iga, komplikasi pemasangan CVP, komplikasi regional analgesia .
Tanda dan gejala hipoksemia: agitasi tanpa sebab, iritabilitas jantung, sensitivitas kurang peka (obtundation) atau bradikardi, dan darah berwarna kehitaman.

 Penanganan:
 Mencari penyebab hipoksemia, diberikan oksi­genasi lewat nasal prong, sungkup muka atau intubasi ETT dengan FiO2 dinaikkan. Pada penderita intubasi ETT, untuk meningkatkan oksigenasi digunakan mode PEEP, dan bila bernapas spontan, digunakan mode CPAP. Pada penderita tanpa intubasi, dapat menggunakan CPAP, tetapi waspada perut kembung, aspirasi paru. Oleh karenanya CPAP sebaiknya hanya digunakan pada penderita yang sadar penuh.
( 7,8 )

2. Komplikasi kardiovaskular .     
Gangguan sirkulasi yang paling umum di PACU adalah hipotensi, hipertensi dan aritmia. Kemungkinan ketidaknormalan sirkulasi itu adalah sekunder dari gangguan sirkulasi yang mendasar yang selalu harus dipertimbangkan sebelum beberapa intervensi yang lain.  (1,7,8 )

Hipotensi
Hipotensi biasanya disebabkan oleh penurunan venous return pada jantung, gangguan fungsi ventrikel kiri, vasodilatasi arteri yang berlebihan yang kurang umum. Hipovolemia adalah penyebab hipotensi paling umum di PACU. Hipovolemia absolut dapat disebabkan oleh penggantian cairan yang tidak adekuat, sekuesterisasi cairan yang terus-menerus oleh jaringan (rongga ketiga), atau drainase luka, serta perdarahan post operasi. Konstriksi vena selama hipotermia mungkin menutupi hipovolemia sampai suhu pasien mulai naik lagi. Kemudian dilatasi vena menghasilkan hipotensi yang tertunda. Hipovolemia relatif adalah bertanggung jawab untuk hipotensi yang dihubungkan dengan spinal atau epidural, venodilator, dan blokade alfa adrenergik; peningkatan kapasitas vena menurunkan venous return kendati volume intra vascular sebelumnya normal. Hipotensi yang berhubungan dengan sepsis dan reaksi alergi biasanya hasil dari kedua-duanya hipovolemi dan vasodilatasi. Hipotensi yang menyertai tension pneumothorax atau tamponade jantung adalah akibat dari pemburukan pengisian jantung.   .( 7 )
       Disfungsi ventrikel kiri pada seseorang yang awalnya sehat adalah tidak biasa tanpa adanya gangguan metabolisme yang berat (hipoksemia, asidosis, sepsis). Hipotensi karena disfungsi ventrikel ditemui terutama pada pasien dengan penyakit arteri koroner atau katup jantung, dan biasanya dicetusksn oleh cairan yang berlebihan, iskemia myokard, peningkatan afterload akut, atau disritmia.

TERAPI
          Hipotensi ringan selama pemulihan dari anestesi adalah umum dan biasanya mencerminkan penurunan tonus simpatis yang normalnya berhubungan dengan tidur atau efek sisa dari agent anestesi, bentuk seperti ini tak memerlukan terapi.  Hipotensi yang bermakna didefinisikan sebagai penurunan tensi 20-30 % dari tensi basal pasien dan diindikasikan sebuah kekacauan serius yang memerlukan terapi. Terapi tergantung pada kemamapuan untuk menilai volume intravaskuler. Peningkatan tensi setelah bolus caiaran (250-500 ml kristaloid atau  100-250 ml koloid) umumnya mendukung hipovolemi. Pada hipotensi berat, suatu vasopressor atau inotropik mungkin diperlukan untuk meningkatkan tensi sampai defisit volume intravaskuler paling tidak terkoreksi sebagian. Tanda-tanda disfungsi jantung sebaiknya diperiksa pada pasien-pasien tua dan pasien-pasien dengan penyakit jantung. Kegagalan pasien untuk segera berespon terhadap terapi mengamanatkan monitoring hemodinamik invasive; manipulasi dari preload, kontraktilitas, dan afterload sering diperlukan. Adanya tension pneumothorax, seperti yang disebabkan oleh hipotensi dengan penurunan suara nafas sesisi, hiperresonanasi, dan deviasi trakea, adalah suatu indikasi untuk segera dilakukan aspirasi pleura bahkan sebelum konfirmasi radiografi. Begitu juga hipotensi karena tamponade jantung, biasanya menyertai trauma dada atau bedah thorax, sering diperlukan pericardiocentesis atau thoracotomi. ( 7 )
                            
Hipertensi
Hipertensi post operasi adalah umum di PACU dan  khususnya terjadi pada 30 menit pertama setelah tindakan. Rangsangan nyeri dari sayatan, intubasi trakea, atau kandung kemih penuh, biasanya ikut berperan. Hipertensi post operasi bisa juga karena aktivasi reflek simpatis, yang menjadi bagian dari respon neuroendokrin terhadap pembedahan atau hipoksemia sekunder, hiperkapnea, atau asidosis metabolic. Pasien-pasien dengan riwayat hipertensi sistemik mudah berkembang menjadi hipertensi di PACU, bahkan tanpa sebab yang jelas.  ( 8 )

TERAPI
Hipertensi ringan umumnya tidak memerlukan terapi, tetapi penyebab reversible sebaiknya dicari. Petanda hipertensi dapat mencetuskan perdarahan post anestesi, iskemia miokard, gagal jantung atau perdarahan intrakranial. Keputusan tentang derajat hipertensi dan kapan harus diterapi bersifat individual. Pada umumnya tensi meningkat lebih dari 20-30% dari basal normal pasien, atau berkaitan dengan efek samping ( infark miokard, gagal jantung, atau perdarahan) harus diterapi. Peningkatan ringan sampai sedang dapat diterapi dengan beta bloker iv seperti labetolol, esmolol, atau propanalol. Ca chanel blocker nicardipin atau pasta nitrogliserin, serta nifedipine sublingual juga efektif. Hidralazin juga efektif tapi sering menyebabkan takikardi dan dihubungkan dengan iskemik miokard dan infark. Petanda hipertensi pada pasien-pasien dengan cadangan jantung terbatas memerlukan monitor tekanan intra arterial langsung dan harus diterapi dengan nitroprussid, nitrogliserin, nikardipin, atau fenoldopam infus intravena. Titik akhir esuaian terapi sebaiknya di sesuaikan dengan tensi normal pasien itu sendiri. ( 1,7 ,8 )

Aritmia
      Gangguan pernafasan yang berperan dalam memacu aritmia jantung antara lain hipoksemia, hiperkarbia, dan asidosis. Efek-efek sisa dari agent anestesi, peningkatan aktivitas sistim saraf simpatis, abnormalitas metabolik lainnya dan adanya penyakit jantung dan paru juga mempengaruhi pasien untuk terjadi aritmia di PACU.
Bradikardi sering menunjukkan efek sisa dari kolinesterase inhibitor (neostigmin), opioid sintetis yang poten (sufentanyl) atau beta bloker (propanolol). Takikardi mungkin menunjukkan efek dari agent antikolinergik (atropin) atau vagolitik (pancuronium atau meperidine), beta agonis (albuterol), reflek takikardi (hidralazine), serta penyebab-penyebab umum seperti nyeri, demam, hipovolemia  dan anemia. Lebih lanjut, anestesi merangsang depresi dari fungsi baroreseptor membuat  frekuensi jantung tak dapat dipercaya memonitor volume intravaskuler di PACU. Atrial dan ventrikel premature beat biasanya menunjukkan hipokalemia, hipomagnesemia, atau peningkatan tonus simpatis. Sebagian besar disritmia tidak memerlukan terapi, suplemen oksigen harus terus diberikn sambil mencari etiologinya. . ( 1,7  )

KOMPLIKASI – KOMPLIKASI LAINNYA :
Hipertermia
Hipertermi atau fibris merupakan masalah yang relative tidak sering terjadi pasca operasi. Pada penderita anak fibris post operatif relative lebih sering terjadi, terutama di negara maju, dimana penderita anak yang akan mengalami operasi, lama berada didalam kamar bedah yang dibuat hangat, dan tubuh ditutup kain steril dan hangat sampai operasi selesai, sehingga tubuhnya relative menjadi panas. Adanya infeksi, hiperthiroidi, atelektasis, aspirasi pneumoni, pheochromocytoma, juga menimbulkan hipertermi. Oleh karenanya bila penderita mengalami hipertermi harus diselidiki apakah panas tersebut sejak praoperatif sudah ada. Kemungkinan adanya hipertermia maligna, harus disingkirkan lebih dahulu karena bisa berlanjut sampai pasca anestesi, bahkan dapat fatal. Bila timbul hipertermi biasanya disertai takikardi, hipotensi dan peningkatan produksi CO2, serta asidosis respiratorik dan metabolic (hasil analisa gas darah).
Terapi : Kompres dingin, baju dilepas, selimut lembab, oksigenasi, pada anak acetaminophen per-os atau per-rektal.  ( 1,7  )

Hipotermia
Sering terjadi post operatif, disebabkan karena hilangnya panas akibat pakaian basah, konduksi/hantaran, penyinaran, juga akibat infuse cairan dingin. Mekanisme kompensasi oleh fungsi Hipotalamus dapat tertekan karena anestesi umum. Terkadang sengaja dibuat ‘hipotermia sedang’ untuk melindungi otak dari cedera iskemik. Hipotermi berat, dapat merupakan predisposisi terjadinya aritmia ventrikel, sedangkan hipotermi ringan dapat memperpanjang pulih sadar dari anestesi. Menggigil dapat meningkatkan konsumsi oksigen , menyebabkan penderita penyakit coroner mengalami resiko terjadinya iskemia miokard.
Terapi : penderita hipotermi dapat dihangatkan dengan sinar panas, seiimut hangat, menutup kepala dan dengan infus cairan hangat. .  ( 1,7  )

Oliguri
Oliguri pascaoperasi sering disebabkan karena terjadinya hipovolemi. Cara mengatasi yang utama mengisi volume sirkulasi. Tetapi sebelum memberikan infus cairan, terlebih dulu harus diselesaikan adanya retensi urine dan penyebabnya, misalnya tertekuknya Foley kateter, dan untuk meningkatkan jumlah urine keluar jangan memberikan diuretika, sangat berbahaya, dapat merusak ginjal. Dengan mencukupi volume sirkulasi, dapat dicegah terjadinya ATN (Acute Tubular Necrosis). Bila penyebab oliguri klinis belum ditemukan, perlu pemeriksaan laboratorium, misalnya sodium urine, creatinin urine, osmolaritas urine, berat jenis urine, dan serum sodium, serum creatinin.


Apabila masih tetap oliguri; mungkin karena resusitasi cairan belum cukup, sebaiknya dipasang kateter vena sentral (CVC), untuk memantau jumlah cairan yang masuk tubuh. .  ( 5,7  )

Mual dan muntah
Mual dan muntah adalah masalah umum setelah anestesi umum. Mual juga bisa nampak pada  hipotensi karena  anestesi spinal atau epidural. Peningkatan insiden mual dilaporkan mengikuti pemberian opioid atau mungkin anestesi dengan N2O,pembedahan intraperitoneal (laparoskopi), dan bedah strabismus. Peningkatan tonus vagal dengan manifestasi bradikardi mendadak umumnya didahului atau disertai dengan  muntah-muntah. Anestesi propofol menurunkan insiden mual dan muntah post operasi. Droperidol i.v 0,05-0,075 mg/kg  bila diberikan intra operasi menurunkan mual post operasi secara bermakna tanpa memperpanjang masa pemulihan; dosis kedua mungkin diperlukan bila mual masih terjadi di PACU. Metoclopramid 0,15 mg/kg i.v mungkin seefektif droperidol dan lebih sedikit menyebabkan kantuk. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa jika propofol tidak digunakan selama anestesi, droperidol mungkin lebih efektif daripada metoklopramid. Selektif 5-hydroxytriptamin (serotonin) reseptor 3 (5HT3) antagonis seperti ondansetron 4 mg (0,1 mg/kb pada anak), granisetron 0,01-0,04 mg/kg dan dolasetron 12,5 mg (0,035 mg/kg pada anak) juga amat efektif. Ondansetron mungkin lebih efektif daripada agent lainnya pada anak-anak. Dexamethason 8-10 mg (0,1 mg/kg pada anak) jika dikombinasikan dengan anti muntah lainnya sangat efektif  untuk mual muntah yang sukar disembuhkan. Propofol dosis rendah (20 mg bolus atau 10 mg bolus dilanjutkan dengan 10mcg/kg/mnt) juga dilaporkan efektif untuk mual muntah post operasi. .  ( 7, 8  )

Pulih sadar tertunda (delayed emergence)
Kecepatan pulihnya kesadaran akibat agen anestesi inhalasi adalah proporsional langsung dengan ventilasi alveolar, dan proporsional tidak langsung dengan kecepatan kelarutannya didalam darah. Ketika proses anestesi berlangsung lama, terjadi juga peningkatan factor tissue uptake dan faktor konsentrasi rata-rata agen anestesi yang digunakan. Sehingga bila derajad proses anestesi dalam dan berlangsung lama, menggunakan agen anestesi yang relative mudah larut seperti Halothane, dapat memperlambat pulih sadar.
Pulihnya kesadaran dari anestesi intravena tergantung farmakokinetik obat anestesi yang digunakan, tergantung redistribusinya. Ketika dosis ditinggikan, berakhimya pengaruh obat juga meningkat tergantung dari eliminasi half-life obat, sehingga adanya penyakit hepar, ginjal dan umur tua dapat memperlambat pulih sadar.
Penyebab utama terjadinya kelambatan pulih sadar adalah residu efek obat akibat ‘over dose’ relative maupun absolute. Disamping itu minum alcohol, atau kondisi tertentu praanestesi IV, dapat memperkuat potensi efek anestesi. Kondisi tersebut antaranya: hipoksia, hiperkarbia hipotensi, hipoglikemia, sepsis, gangguan asam-basa dan elektrolit, perlu dipertimbangkan. .  ( 1, 7 )

Nyeri akut
                 Masalah pasca operasi yang menyebabkan pasien sangat menderita adalah nyeri akut yang intens. Nyeri akibat pembedahan dapat memperberat semua komplikasi pasca operasi, seperti pernapasan dan pengambilan napas dalam menjadi terbatas .
Nyeri juga menyebabkan takikardi, demikian juga penggeseran cairan (shift) dan respons fisiologis yang lain akan berubah karena terjadinya nyeri.
Nyeri sedang sampai berat post operasi di PACU dapat diobati dengan opioid parenteral atau intra spinal, anestesi regional, atau blok saraf spesifik. Bila opioid digunakan titrasi dengan dosis kecil intra vena umumnya aman. Analgesi adekuat harus diseimbangkan lagi tanpa sedasi. Opioid durasi menengah sampai lama seperti meperidine 10-20 mg (0,25-0,50 mg/kg pada anak), hydromorphone 0,25-0,50 mg (0,015-0,02 mg/kg pada anak) atau morphin 2-4 mg (0,025-0,050 mg/kg pada anak) adalah paling umum dipakai. Efek puncak analgesinya dalam 4-5 menit. Depresi nafas maksimal khususnya dengan morphin mungkin tak tampak sampai 20-30 menit kemudian. Bila pasien sadar penuh PCA
(Patien Controlled Analgesia) dapat diberikan. Pemberian opioid intra muskuler tidak menguntungkan karena onsetnya bervariasi (10-20 menit) dan depresi nafas yang tertunda (sampai 1 jam).
        Bila dipasang kateter epidural, pemberian fentanil 50-100 mcg, sufentanil 20- 30 mcg, atau morphin 3-5 mg dapat sempurna menghilangkan nyeri, akan tetapi depresi nafas yang tertunda dengan morphin memerlukan perhatian khusus selama 12-24 jam setelah pemberian. .  ( 7,8  )

Anestesi Regional
Pasien yang tersedasi berat dan hemodinamikanya tidak stabil setelah anestesi regional juga diberi suplemen oksigen di PACU. Tingkat sensorik dan motorik dicatat periodic pada catatan hilangnya blok. Perhatian dalam bentuk peringatan berulang mungkin diperlukan untuk mencegah melukai diri sendiri karena gerakan lengan yang tak terkoordinasi pada blok pleksus brakhialis. Tensi harus selalu dimonitor pada anestesi spinal dan epidural. Kateter kandung kemih mungkin diperlukan pada pasien yang dianestesi spinal atau epidural lebih dari 4 jam. .  ( 7 )

Kriteria mengeluarkan penderita dari PACU
Demi keamanan penderita selanjutnya, pemindahan penderita dari unit perawatan pasca anestesi ke bangsal dan atau pulang kerumah, harus memenuhi beberapa kriteria :
1.         Penderita mampu mempertahankan dan melindungi pernapasan dengan baik.
2.         Mudah dibangunkan dengan stimuli verbal, dan orientasi penuh.
3.         Hemodinamik stabil, tak ada komplikasi bedah seperti perdarahan.
4.         Penderita teraba hangat dan nyaman, mual / muntah minimal.
5.         Tidak menunjukkan adanya depresi pernapasan 30 menit sesudah pemberian IV opiate yang terakhir.
6.         Untuk anesthesia spinal atau epidural, penderita sudah menunjukkan pulihnya motorik dan sensoris.


Kriteria lain yang dipakai untuk mengeluarkan penderita dari perawatan post operasi adalah yang dibuat Aldrete JA pada tahun 1995. ( 5 )
Skor pemulihan post anestesia dari Aldrete
(Idealnya pasien dikeluarkan bila skor total 10 atau minimal 9)

Kriteria Asli
Kriteria Modifikasi
Skor
Warna Kulit
Merah
Coklat
Sianotik
Oksigenasi
SpO2 >92% pada udara kamar
SpO2 >90% dengan oksigen
SpO2 <90% dengan oksigen

2
1
0
Pernafasan
Bisa bernafas dalam dan batuk
Dangkal tapi pertukaran adekwat
Apnea atau obstruksi

Bernafas dalam dan batuk bebas
Sesak, dangkal, terbatas
Apnea

2
1
0
Sirkulasi
Tensi 20% dibawah normal
Tensi 20-50% dibawah normal
Deviasi tensi > 50% dari normal

Tensi ± 20 mmHg dari normal
Tensi ± 20 – 50 mmHg dari normal
Tensi  > 50 mmHg dari normal

2
1
0
Kesadaran
Sadar, waspada, berorientasi
Dapat dibangunkan tapi tertidur lagi
Tidak respon

Sadar penuh
Dapat dibangunkan
Tidak respon

2
1
0
Aktivitas
Semua ekstremitas bergerak
Dua ekstremitas bergerak
Tidak ada gerak

Semua ekstremitas bergerak
Dua ekstremitas bergerak
Tidak ada gerak

2
1
0






KESIMPULAN

            PACU melakukan perawatan secara simultan untuk pasien yang sadar dari pembedahan yang rutin , yang pulih dari anestesi umum . Maka fasilitas dan personil harus berpengalaman dan mampu untuk memastikan pemulihan dini yang tepat sejalan pasien terjaga dari anestesi dan memfasilitasi pemulihan segera ketika pasien mencapai kriteria untuk kepulangan ke bangsal baik pasien pasca operasi dengan general maupun regional yang dimulai sejak pasien ditransportasikan sampai memenuhi kriteria keluar dari PACU.
Hampir 50 % kematian yang terjadi dalam 24 pertama dapat dicegah dengan perawatan yang optimal di ruang pemulihan. Kesuksesan dari ruang pemulihan merupakan faktor utama  dalam evolusi unit perawatan intensif bedah modern di mana kini dikenal sebagai Post Anestesia Care Unit .
Komplikasi yang sering terjadi post operasi baik komplikasi kardiovaskuler , respirasi atau yang lainnya seperti nyeri, agitasi, menggigil, hipotermia, mual dan muntah harus mendapatkan perawatan yang optimal , tepat dan cepat di PACU.  















                                             DAFTAR PUSTAKA

1. Thomas WF, Mocario A, The Postanesthesia Care Unit. In: Miller`s        Anesthesia. Sixh Edition, Elsevier Churchill Livingstone, 2005, Vol 2:2703-2723.

2.  Seago JA, Weitz S, Waizak S. Factors influencing stay in the Postanesthesia       Care Unit: a prospective analysis. J Clin Anesth. 1998; 10 (7): 579-87.
3.  Truong L, Moran JL, Blum P. Post anaesthesia care unit discharge: a clinical scoring system versus traditional time-based criteria. Anesth Intensiv Care. 2004 Feb; 32(1): 33-42.
4.  S. Dahmani, H. Dupont, J. Mantz, J. Desmonts and H.Keita. Predictive factors of early morphine requirement in the post-anaesthesia care unit (PACU). Clinical Investigation. British Journal of Anaesthesia, 2001, 87(3): 385-389.
5.  Aldrete JA. The post-anesthesia recovery score revisited. J.CIin Anesth, Society for Ambulatory Anesthesia, 1995, 7: 89-91.
6.  Cooper G. Anesthesia Round, Imperial Chemical Industries ILC, 1986
7. Frederic AB, Postaneshesia Care. In: Morgan G.E et al (eds),ClinicalAnesthesioloy. 3rd edition. Lange Medical Book, 2002; 49: 936-947.
8. Edward E, Luca M, The Postanesthesia Care Unit. Clinical Anesthesia Procedures of the Massachusetts General Hospital. Sixth Edition, A Lippincott Williams & Wilkins, 2002;561-575.

1 komentar: