Kamis, 16 Mei 2013

Obat Pelumpuh Otot


Obat Pelumpuh Otot

I.              Latar Belakang
Sebelum ditemukan obat penawar pelumpuh otot, penggunaan obat pelumpuhotot sangat terbatas. Sejak ditemukan obat penawar pelupuh otot dan opioid, maka penggunaan pelupuh otot dan opioid hampir rutin. Anestesi tidak perlu dalam, hanya sekedar pasien tidak sadar, analgesik dapat diberikan dosis tinggi, dan peberian obat pelumpuh otot dapat memberikan efek relaksasi pada otot lurik. Ketiga kombinasi ini dikenal dengan istilah trias anestesi ‘the triad of anesthesia’.


II.           Definisi
Obat pelumpuh otot merupakan obat yang di gunakan untuk melemaskan atau merileksasikan otot. Obat pelumpuh otot bukan merupakan obat anestesi, tetapi obat ini sangat membantu dalam membantu pelaksanaan anestesi umum, antara lain memudahkan  dan mengurangi cidera tindakan laringoskopi dab intubasi trakea  serta memberikan relaksasi otot yang dibutuhkan dalam pembedahan dan ventilasi kendali.

III.        Fisiologi Transmisi Syaraf Otot.

Transmisi rangsang syaraf ke otot terjadi melalui hubungan syaraf otot. Hubungan ini terdiri atas bagian ujung syaraf motor yang tidak brtlapis mielin dan membran otot. Ujung syraf motor merupakan gudang pesendian kalsium, vesikel atau asetil kolin, mitokondria, dan retikulum endoplasmik. Pada membran otot terdapat reseptor asetilkolin.
Asetilkolin merupakan bahan perangsang syaraf (neurotransmiter)  yang dibuat dalam ujung syaraf motor dan disimpan dalam kantong atau gudang yang disebut vesikel. Ada 3 bentuk asetilkolin, yaitu bentuk bebas, cadangan belum siap pakai, dan bentuk siap pakai. Faktor –faktor yang mempengaruhi pelepasan asetilkolin adalah kalsium, magnesium, nutrisi, oksigenasi, suhu, analgetik lokal, antibiotik golongan aminoglikosida.
Potensial membran ujung syaraf motor terjadi karena membran bersifat permiabel terhadap ion kalium ekstrasel dari pada natrium. Pada saat pelepasan asetilkolin (transmiter saraf) yang dipicu oleh kalsium, membran tersebut menjadi lebih permiabel terhadap ion natrium dan kalsium sehingga kalsium dan natrium masuk sedangkan kalium keluar sel, maka terjadi reaksi depolarisasi. Bila depolarisasi ini cukup kuat maka akan diikuti oleh kontraksi otot. Setelah itu akan terjadi repolarisasi membran ujung syataf motor karena kerja asetilkolin cepat di hidrolisis oleh asetilkolin-esterase menjadi asetil dan kolin.


IV.         Obat Pelumpuh Otot Ada 2 Jenis,  yaitu:
1.        Depolarisasi
Terjadi karena serabut otot mendapat rangsangan depolarisasi yang menetap sehingga akhirnya kehilangan tespon berkontraksi yang menyebabkan kelumpuhan. Pulihnya fugsi syaraf otot sangar tergantung pada kemampuan daya hidrolisis enzim kolinesterase.

2.        Hambatan Kompetisi Atau Blok Non Depolarisasi
Terjadi karena aseptor asetilkolon diduduki  oleh molekul-molekul obat pelumpuh otot non depolarisasi sehingga prses depolarisasi membran otot tidak terjadi dan otot menjadi lumpuh(lemas). Pemulihan fungsi syaraf oror kembali jika molekul obat yang menduduki teseptor asetikolin telah berkutang, antaralain terjadi karena terjadi karena eliminasi dan atau distribusi. Pemulihan dapat lebih cepat dibantu dengan memberikan obat antikolineseterase (neostigmin) yang menyebabkan peningkatan jumlah asetilkolin.

Hambatan Lain
a.         Hambatan fase II atau blok desentisisasi/bifasik (blok ganda).
Disebabkan karena pemberian obat pelumpuh otot depolarisasi yang berulang-ulang sehingga fase I (depolarisasi ) membran berubah menjadi fase II (non depolarisasi ). Mekanisme perubahan ini belum diketahui. Pemberian suksinil kolin hingga dosis 500 mg daat menyebabkanhambatan fase II. Hambatan ini tidak dapat diatasi dengan memberokan obat antikolinesterase.
b.      Hambatan campuran
Terjadi karena memberikan penyuntikan obat pelumpuh otot depolarisasi dan non depolarisasi dilakukan secara simultan.

V.            Jenis-Jenis Obat Pelumpuh Otot
·         Berdasarkan susunan molekul maka pelumpuh otot non depolarisasi digolongkan menjadi :
1.      Bensiliso-kuinolinum : d-tubokur arin, metokurarin,atrakurium, doksakurium, mivakurium.
2.      Steroid : pankuronium, vekuronium, piekuronium, ropakuronium, roluronium.
3.      Eter-fenolik : gallamin.
4.      Nortoksiferin :alkuronium.






·         Berdasarkan lama kerja,  pelumpuh otot non depolarisasi dibagi menjadi :
Jenis obat
Dosis awal
(mg/kg)
Dosis rumatan
(mg/kg)
Durasi
(menit)
Efek samping
Nondepol long-acting:
1.   D-tubokurarin (tubarin)
2.   Pankuronium
3.   Metakurin
4.   Pipekuronium
5.   Doksakurium
6.   Alkurium(alloferin)

0.40-0.60
0.08-0.12
0.20-0.40
0.05-0.12
0.02-0.08
0.15-0.30

0.10
0.15-0.020
0.05
0.01-0.015
0.005-0.010
0.05

30-60
30-60
40-60
40-60
45-60
40-60

Histamin +, hipotensi, natural
Vagolitik, takikardi, tensi >
Histamin -, hipotensi
Kardiovaskuler stabil
Kardiovaskuler stabil
Vagolitik, takikardi
Nondepol intermediate acting:
1.   Gallamin (flaxedil)
2.   Atrakurium (tracrium)
3.   Vekuronium (norcuron)
4.   Rokuroniuim (esmeron)
5.   Cistacuronium


4-6
0.5-0.6
0.1-0.2
0.6-1.0
0.15-0.20


0.5
0.1
0.015-0.02
0.10-0.15
0.02


30-60
20-45
25-45
30-60
30-45


Histamin +, hipotensi
Aman untuk hepar dan ginjal


Isomer atrakurium
Nondepol short-acting:
1.   Mivakurium (mivacron)
2.   Repokuronium

0.20-0.25
1.5-2.0

0.05
0.3-0.5

10-15
15-30

Histamin +, hipotensi
Depol short-acting:
1.   Suksinilkolin (scolin)
2.   Dekametonium

1.0



3-10

Lihat teks

·         Pilihan pelumpuh otot
1.      Gangguan faal ginjal      :  atrakurium, vekuronium
2.      Gangguan faal hati         :  atrakurium
3.      Miestenia gravis             :  jika dibutuhkan dosis 1/10 atrakurium
4.      Bedah singkat                 :  atrakurium, rokkuronium, mivakuronium
5.      Kasus obstetri                 :  semua dapat digunakan kecuali gallamin
·         Tanda kekurangan pelumpuh otot :
1.         Cegukan (hiccup)
2.        Dinding perut kaku
3.        Ada tahanan pada inflasi paru
·         Ciri kelumpuhan otot non depolarisasi dan depolarisasi
1.      Non depolarisasi
a.          Tidak ada fesikulasi otot
b.      Berpotensi dengan hipokalemia, hipotermia, obat anestetik inhilasi eter, halotan, enfluran, isofluran.
c.           Menunjukan kelumpuhan yang bertahap pada perangsangan tunggal  atau tetanik.
d.      Dapat diantagonis oleh antikolinesterase.

2.      Depolarisasi
a.           Fasikuklasi otot ada.
b.      Berpotensi dengan antikolinesterase.
c.           Kelumpuhan berkurang dengan menberikan obat pelumpuh otot non depolarisasi, dan asidosis.
d.      Tidak menunjukan kelumpuhan bertahap pada perangsangan tunggal maupun tetanik.
e.          Belum dapat diatasi dengan obat spesifik.
Obat - Obat Pelumpuh Otot Non Depolarisasi
1.                       Tubokurarin klorida (Kurarin).

Penggunaan :  relaksasi otot
Farmakologi :
Merupakan obat penyekat neuromuskuler non depolarisasi aksi menengah. Obat ini berkompetisi untuk resoptor kolinergik pada lempeng akhir motorik. Hipotensi yang berkaitan dengan dosis klinis merupakan akibat sekunder dari blokade ganglion otonomik dan pelepasan histamin. Dosis yang berulang dapat mempunyai efek komulatif.

Farmakokinetik :
Awitan aksi:  kurang dari 2 menit
Efek puncak:  2-6 menit
Lama aksi:  25-90 menit
Interaksi/toksisitas:  efek dipotensiasi oleh anestetik volatil, antibiotik aminoglikosid, anestetik lokal, diuretik, magnesium, litium, obat-obatan penyekat ganglion, asidosis respiratorius, hipokalemia; peningakatan blokade neuromuskuler akan terjadi pada pasien dengan miastenia gravis atau fungsi adrenokorteks yang tidak adekuat; efeknya diantagonis oleh inhibitor antikolinesterase seperti noestigmin, endrofoniuim, dan piridostigmin; restistensi pada pemakaian bersamaan dengan penitoin dan pada pasien dengan cidera bakar dan paresis; dosis prapengobatan dari d-tubokurarin menurunkan fasikulasi tetapi mengurangi intensitas dan memperpendek lamanya blokade neuromuskuler suksinilkolin; dosis prapengobatan menutunkan waktu awitan blokde maksimal sampai dengan sekitar 30 – 60 detik; peningkatan resistensi atau reversi dari efek pada penggunaan teofulin dan pada pasien dengan cedera bakar dan paresis; mengurangi kebutuhan MAC untuk anestetik volatil.

Dosis    :  intubasi          :  i.v. 0,3 – 0,6 mg/kg   
               Pemeliharaan : i.v. 0,05 – 0,3 mg/kg (10% - 50% dari dosis intubasi).
Infus               : 1 – 6   g/kg/menit.
Prapengobatan :  i.v. 10% dari dosis intubasi yang diberikan 3 – 5 menit sebelum dosis relaksan depolarisasi/ nondepolarisasi.

Cara pemberian          :  terutama melalui i.v., kadang-kadang i.m.

Eliminasi                         :  Ekskresi terutama melaui ginjal dan sebagian melaui hepar.

Kemasan                       : suntikan, 3 mg /ml

Penyimpanan                :  suhu kamar (150 - 300 C). Jangan biarekan membeku.

Pengencceran untuk infus:  15 mg dalam 100 ml D5W (0,15 mg/ml).

Pedoman/peringatan:
1.      Pantau respon dengan stimulator saraf tepi untuk memperkecil resiko kelebihan dosis.
2.      Gunakan dengan hati-hati pada pasien dengan riwayat asthma bronchial dan reaksi anafilaktoid.
3.      Efek reversi dengan antikoliesterase seperti piridostigmin bromida, neostigmin, atau edrofuniom bersamaan dengan pemakaian atropin atau glikopirolat.
4.      Dosis prapengobatan dapat menimbulakan suatu tingkat blokade neuromuskuler yang cukup untuk menyebabkan hipoventilasi pada beberapa pasien.

Reaksi samping utama:
Kardiovaskuler                   :  hipotensi, vaso dilatasi, takikardi sinus,  bradikardi sinus.
Pulmoner                            :  hipoventilasi, apnoe, bronchospasme, laringospasme, dispnoe.
Muskulus skeletal               :  blok tidak adekuat, blok diperpanjang.
Dermatologik                     :  ruam, urtikaria.


2.                       Galamin (Flaxedil)

Penggunaan :  relaksaan otot non depolarisasi

Farmakologi :
Lama kerja obat berkisar 15-20 menit. Mula kerja sangat berhubungan dengan aliran darah otot. Mempunyai efek yang lenah terhadap ganglion syaraf dan tidak menyebabkan pelepasan histamin. Memiliki sifat seperti atropin yang menyebabkan takikardi walaupun pada dosis kecil (20mg). Karena itu glamin cukup baik dipakai bersama dengan halotan. Kenaikan tekanan darah dapat terjadi, tetapi ringan. Galamin dapat menembus sawar utero plasenta tetapi tidak sampai mempengaruhi kontraksoi uterus.

Faramakokinetik:
            Awitan aksi     :           1 - 2 menit
Efek puncak    :           3 - 5 menit
Lama aksi       :           25 – 90 menit
Interaksi/toksisitas:     efek dipotensiasi oleh prapemberian soksinilkolin, anastetik volatil, antibiotik haminoglikosida, anestetik lokal, diuretik ansa, magnesium, litium, obat-obatan penyekat ganglion, hipotermia, hipokalemia, dam asidosis respiratoriuas; blokade neuromuskuler yang ditingkatan akan terjadi pada pasien dengan miastenia gravis ataiu fungsi adrenokorteks yang tidak adekuat; efek diantagonis oleh inhibitor antikolinerterase seperti noestigmin, edrofonium, dan piridostigmin; dosis prapengobatan dari gelamin menurunkan fasikulasi tetapi mengurangi intensitas dan memperpendek lamanya blokade noeuromuskuler dari suksinilkolin; dosis prapengobatan menurunka waktu awitan dari blokde maksimal sekitar 30 – 60 detik; peningkatan tahanan atau reversi efek pada penggunaan teofilin dan pasien dengan cidera bakar dan paresis.

Eliminasi :        Ekskreasi terutama melaui ginjal dan sebagian melaui               empedu.


Dosis:
Intubasi                       :                        i.v. 1 – 1,5 mg/kg
Pemeliharaan   :          i.v. 0,1 – 0,75 mg/kg (10% - 50% dari dosis      intubasi )
Prapengobatan :           i.v. 10% dari dosis intubasi diberikan 3 – 5 menit sebelum dosis relaksan depolarisasi / nondepolarisasi.
Kemasan          :          suntikan, 20 mg/ml (hanya untuk penggunaan i.v.)

Penyimpanan:            suhu kamar ( 150 – 300 C ). Jangan biarkan membeku.

Reaksi samping utama:
Kardiovaskuler           :  takikardi, aritmia, hipotensi.
Pulmoner                    :  hipoventilasim apnoe.
Muskuloskeletal          : blok yang tidak adekuat , blok yang diperpanjang.

Pedoman/peringatan:
1.      Pantau respon dengan stimulator saraf tepi untuk memperkecil resiko kelebihan dosis.
2.      Penggunaannya merupakan kontra indikasi pada pasien dengan miastenia gravis dan gangguan fungsi ginjal.
3.      Efek reversi ( ballik ) dengan antikolinesterase seperti neostigminm edrofonium, atau piridostigmin bromida bersama dengan pemakaian atropin atau glikopirolat.
4.      Pada beberapa pasien dosis prapengobatan dapat menimbulkan suatu tingkat blokade noeuromuskuler yang cukup untuk menyebebkan hipoventilasi.  


3.      Alkurinium klorida/alkurium (Alloferine)
Merupakan sintetik toksiferin, suatu alkaloid dari tanaman strycnos toksifera. Kemasan dibuat dalam ampul berisi 2 ml yang mengandung 10 mg alkuronium klorida. Larutan tidak dapat dicampur bersama tiopental.

Farmakologi :
Mulai kerja pada menit ke-3 untuk selama 15 – 20 menit. tempat sibersifat pelepas histamin jaringan, tetapi dapat menghambat ganglion simpatik sehingga dapat menimbulkan hipotensi terutama pada pasien dengan riwayat penyakit jantung. Alkuronium dapat berpotensi ringan dengan N2O-tiopental-narkotik

Eliminasi:
Ekskresi terutama melalui ginjal (70%) salam bentuk utuh dan sebagian melalui empedu. 

Dosis :
Dosis relaksasi pembedahan :  0.15 mg/kgBB/i.v. (dewasa)
 0.125-0.2 mg/kgBB/i.v. (anak-anak)                                                                                                                                                                                                                                                                                                       
Dosis intubasi trakea               :  0.3 mg/kgBB/i.v
                       
                                    Penyimpanan                       :  simpan pada suhu ruangan dan hindarkan dari  cahaya matahari secara langsung.



4.             Pankuronium bromida (pavulon)
Merupakan steroid sintesis adlah obat pelumpuh otot non depolarisasi yang banyak dipakai di Indonesia. Kemasan dalam bentuk ampul berisi 2 ml larutan yamg mengandung pankuronium bromida 4 mg.

Faramakogi :
Mula kerja pada menit ke 2-3 untuk selama 30 – 40 menit. Berikatan kuat dengan globulin plasma dan berikatan sedang dengan albumin. Memberikan efek komulasi pada pemberian berulang. Oleh karena itu dosis pemeliharaan / rumatan harus di kurangi dan waktu pemberian harus diperpanjang. Pankuronium menyebabkan sedikit pelepasan histamin dan hipertensi karena memiliki efek inotropik positif serta takikardi karena efek vagolitik. Sebanyak 15 – 40% pankuronium dalam tubuh mengalami metabolisme deasetilasi.

Farmakokinetik:
Awitan aksi      :           1 – 3 me nit
Efekpuncak     :           3 – 5 menia
Lama aksi        :           40 – 65 menit 
Interaksi/toksisitas:
Bolkade neuromuskuler dipotensiasi oleh amonigliosida, antibiotik, anestetik local, diuretic ansa, magnesium, litium, obat-obtan penyekat ganglionik, hipotermia, hipokalemia, asidosis pernapasan, dn peberian suksinilkolin sebelumnya;  kebutuhan dosis berkrang ( sekitar 30% – 45%) dan lamanya blokde neuromuskuler diperpanjang hingga 25% oleh anestetik voletil; menghambat pseudokolinesterase, dan dosis prapengobatan memperpanjang lamanya blockade neouromuskuler; dosis pengobatan mengurngi waktu awitan blockade maksimal dengan sekitar 30 - 60 detik; meningkatn resiko aritmia pada pasien yang mendapatkan antidepresi trisiklik dan anestetik volatile; kelumpuhan kambuhan terjadi dengan kuinidin; blockade neuromuskuler ditingkatkan pada pasien dengan miastenia garvis atau fungsi adrenokortikol yang tidak adekuat; efeknya diantagonis oleh inhibitor antikolnesterase seperti noestigmin edrofunium, piridostigmin; tahanan meningkat atau efeknya direversi pada penggunaan teofilin dan pada pasien dengan cedera baker dan paresis.     

Eliminasi:
Ekskresi terutama melalui ginjal (60 – 80%) dan sebagian melalui empedu (20 – 40%).

Dosis :
Dosis intubasi trakea                 : 0.04 – 0,1 mg/kg
Dosis pemeliharaan                   : 0,01-0,05 mg/kgBB(10%-50% dari dosis intubasi)
Prapengobatan                           : i.v. 10% dari dosis intubasi diberikan 3-5 menit sebelum dosis relaksan depolerisasi/nondepolarisasi

Pedoman peringatan :
1.      Pantau respons dengan stimulator saraf tepi untuk memperkecil resiko kelebihan dosis.
2.      Efek reversi denga antikolinsteresae seperti noestigmin, edofonium, atau piridostigmin bromida bersama dengan atropin atau glikopirolat.
3.      Dosis prapengobatan dapat menimbulakan suatu tingkan blokade noeuromuskuler yang pada beberapa pasien cukup untuk menyebabkan hipoventilasi.
4.      Kelumpuhan yang diperpanjang dapat terjadi setelah  dihentikannya infus jangka panjang pada pasien perawatan intensive kususnya pada mereka yang gagal ginjal ketidak seimbangan elektrolit atau pemakaian bersama kortikosteroid atau aminoglikosida. Hal ini disebabkan oleh perkembangan miopati akut dan blokade noeuromuskuler persisten sebagai akibat sekunder dari penumpukan metabolik aktif terutama pankoronium 3-desasetil.

Reaksi samping utama:
Kardiovaskuler                        :           takikardi, hipertensi.
Pulmuner                     :           hipoventrilasi, apnoe, bronchospasme.
GI                                :           salivasi.
Alergik                         :           kemerahan, rekasi anafilaktik.
Muskuloskletal            :           blok yang tidak adekuat, blok yang diperpanjang.

Penyimpanan :  stabil hingga tanggal kadaluarsa (cth: stabil 18 bulan) jika didinginkan (20-80 C). Stabil pada suhu kamar (180-220 C).


5.             Atrakurium Besilat (tracrium)
Merupakan obat pelumpuh otot non depolirasasi yang relatif baru yang mempunyai setruktur benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman Leontice Leontopeltalum. Beberapa keunggulan atrakurium dibandingkan dengan obat terdahulu antara lain :
a.       Metabolisme terjadi di dalam darah (plasma)terutama melalui reaksi kimia yang disebut elimiasi Hoffman. Reaksi ini tidak tergantung pada fungsi hati atau ginjal.
b.      Tidak memberi efek kumulasi pada pemberian berulang.
c.       Tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang bermakna.

Kemasan:
Dibuat dalam kemasan ampul berisi 5 ml yang mengandung 50 mg atrakurium besilat atau 10mg/ml.

Farmakologi :
Mula dan lama kerja atrakurium bergantung pada dosisi yang dipakai. Pada umumnya mula keraja atrikurium pada dosis intubasi 2-3 menit, sedang dengan dosis relaksasi 15-35 menit. Pemulihan syaraf otot dapat terjadi secara spontan (sesudah kerja obat berakhir) atau dibantu dengan pemberian obat antikolinesterase. Atrakurium dapat menjadi obat pilihan dalam geriatraik atau dengan kelainana jantung, hati dan ginjal berat.

Eliminasi:        plasama(hoffman, hidrolisi ester), hati, ginjal.

Farmakokinetik:
Awitan aksi       :     kurang dari 3 menit
Efek puncak      :     3-5 menit
Lama aksi         :     20 – 35 menit
Interaksi/toksisitas : blokade nouromuskuler dipotensiasi oleh amino glokosida, antibiotik, anestetik lokal, diuretik ansa, magnesium, litium, obat-obat penyekat ganglion, hipotermia, hipokalemia dan asidosis pernapasan, dan pemberian suksinilkolin sebelumnya; kebutuhan dosis berkurang (sekitar 30% - 45%) dan lama blokade neuromuskuler diperpanjang hingga 25% oleh anestetik volatil; dosis prapengobatan atrakurium mengurangi vasikulasi tetapi menurunkan intensitas dan memperpendek lamanya blokade neoromuskoler dari suksinikolin; dosis prapengobatan mengurangi waktu hingga awitan dari blokade maksimal sampai sekitar 30 – 60 detik; peningkatan blokade neouromuskoler akan terjadi pada pasien dengan miastenia gravis atau fungsi adrenokortikal yang tak adekuat; efeknya diantagonisir oleh inhibitor antikolibesterase, seperti noestigmin, edrofonium, dan piridistigmin; peningkatan resistensi atau reversi efek dengan penggunaan teofilin dan pada pasien dengan luka bakar dan paresis. 

Dosis :
Dosis intubasi                          : 0.5-0.6 mg/kg BB/i.v.
Dosis relaksasi otot                  : 0.5-0.6 mg/kgBB/i.v.
Dosis pemeliharaan                 : 0.1-0.2 mg/kgBB/i.v.

Pedoman peringatan :
1.      Pantau respons dengan stimulator saraf tepi untuk memperkecil resiko kelebihan dosis.
2.      Gunakan dengan hati-hati pada pasien dengan riwayat asthma bronchial dan reaksi anafilaktoid.
3.      Efek reversi dengan antikoliesterase seperti piridostigmin bromida, neostigmin, atau edrofuniom bersamaan dengan pemakaian atropin atau glikopirolat.
4.      Dosis prapengobatan dapat menimbulakan suatu tingkan blokade noeuromuskuler yang pada beberapa pasien cukup untuk menyebabkan hipoventilasi.
5.      Dosis prapengobatan dapat menimbulakan suatu tingkan blokade noeuromuskuler yang pada beberapa pasien cukup untuk menyebabkan hipoventilasi.

Penyimpanan:   dinginkan (20 – 80  C). Jangan biarkan membeku. Pada saat pengangkatan dari pendinginan kesuhu ruang, gunakan dalam 14 hari jika didinginkan kembali.


6.             Vekuronium (norcuron)
Juga merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang baru dan merupakan homolog pankuronium bromida yang berkekuatan lebih besar dengan lama kerja yang singkat. Tidak memiliki efek kumulasipada pemberian erulang per infus. Tidak menyebabkan perubahan fungsi karduiovaskuler yang bermakan.

Kemasan:  dibuat dalam bentuk ampul. Berisi bubuk vekuronium 4 mg. Pelarut yang dapat dipakai antara lain akuades, garam fisiologik, ringer laktat atau dextrose 5% sebanyak 2 ml.



Farmakologi :
Mula kerja terjadi pada menit ke 2-3 dengan lama kerja sekitar 30 menit. Analog monokuartener dari pankoronium ini merupakan suatu obat penyekat neouromuskuler non depolariasasi dengan lama kerja menengah, vekuronium berkompetisi dengan reseptor kolinergik pada lempang akhiran motorik. Sepertiga lebih potens dari pada pankuronium, tetapi lamanya neouromuskuler lebih singkat dari pemulihannya lebih cepat. Dengan infus kontinyu (6jm), pemulihan dapat diperpanjang karena akumulasi metabolik aktif. Waktu awitan berkurang dan lama kerja di perpanjang dengfan dosis yang bertambah. Tidak ada perubahan secara klinis yang bermakna dalam parameter hemodinamik. Jika pekuronium dikombinasikan dengan opioid ( cth: sufentanil, fentanil) maka efek fagotonik dapat menimbulkan bradikardi. Pekuronium secara klinis tidak melepaskan kosentrasi histamin yag bermakna.

Farmakokinetik:
Awitan aksi     :           kurang dari 3 menit
Efek puncak    :           3 – 5 menit
Lama aksi       :           25 – 30 menit
Interaksi/toksisitas:  blokade nouromuskuler dipotensiasi oleh amino glokosida, antibiotik, anestetik lokal, diuretik ansa, magnesium, litium, obat-obat penyekat ganglion, hipotermia, hipokalemia dan asidosis pernapasan, dan pemberian suksinilkolin sebelumnya; kebutuhan dosis berkurang (sekitar 30% - 45%) dan lama blokade neuromuskuler diperpanjang hingga 25% oleh anestetik volatil; kelumpuhan rekurens dapat terjadi pada kuinidin; peningkatan blokade neuromuskoler dapat terjadi pada pasein miastenia gravias atau fungsi adrenokorteks ytang tidak adekuat; efek vekuronium diantagonis oleh inhibitor asetilkolin esterase seperti neostigmin,  dan piridostigmin; dosis prapengobatan dari gelamin menurunkan fasikulasi tetapi mengurangi intensitas dan memperpendek lamanya blokade noeuromuskuler dari suksinilkolin; dosis prapengobatan menurunka waktu awitan dari blokde maksimal sekitar 30 – 60 detik; peningkatan tahanan atau reversi efek pada penggunaan teofilin dan pasien dengan cidera bakar dan paresis.

Dosis :
Intubasi                        :          i.v. 0,08 – 0,1 mg/kg
Pemeliharaan   :          i.v. 0,01 – 0,05 mg/kg ( 10% - 50 % dari dosis intubasi)
Prapengobatan :          i.v. 10 % dari dosis intubasi diberikan 3 – 5 menit sebelum dosis relaksan non depolarisasi/depolarisasi.

Penyimpanan:            bubuk suhu kamar ( 150 – 300  C). Lindungi dari cahaya. Jika direkonstisusikan dengan air steril untuk disuntikan, laruatan stabil selam 24 jam didinginkan atau pada suhu kamr. Jika direkonstitusi sengan D5w, NS, atau D5 NS, larutan stabil selama 24 jam, jika didinginkan ( 20 - 80 C).

Pengenceran:             untuk infus 20 mg dalam 100 ml D5W ( 0,2 mg/l).     


Obat Pelumpuh Otot Depolarisasi

1.             Suksametonium (succinyl choline)
Kemasan       : falkon berisi bubuk putih 100 mg atau 500 mg. Pengenceran dapat memakai garam fisiologik atau akuades steril 5 atau 25 ml sehingga membenrtuk larutan 2%.

Indikasi        :  sebagai pelumpuh otot jangka pendek.

Kegunaan     : terutama untuk mempermudah /fasilitas intubasi trakea karena mula kerja yang cepat dan lama kerja yang sengkat. Juga dapat dipaki untuk memelihara relaksasi otot dengan cara pemberian kontinyu per infus atau suntikan intermiten.

Dosis             : i.v. 0,7 – 1 mg/kg ( 1,5 mg/kg degan prapengobatan nondepolarisator), untuk anak-anak  intubasi 1-2 mg/kgBB/i.v., untuk neonatus dan bayi 2-3 mg/kg,

Cara pemberian:   I.V./I.M/ intra lingual/ intra bukal.

Mula kerja    : 1-2 menit dengan lama kerja 3-5 menit.

Untuk mengurangi fasikulasi dan nyeri otot sering diberi dahulu  dengan obat pelumpuh otot depolarisasi ¼ dosis relaksasi otot misalnya pankuronium 1 mg (prekurarisasi). Untuk penakaian kontinyu per infus, buat larutan dengan konsentrasi  1 mg/ml (250 mg dalam 250 ml larutan). Dosisi pemeliharaan obat adalah 1-2 ml/mnt. Botol infus harus diberi lebel yan jelas dan sisa larutan sesudah dipakai harus segera dibuang.

Komplikasi dan efek samping :
1.      Bradikardi, bradiaritmia dan asistol terutama pada pemberian berulang atau terlalu cepat serta pada anak-anak.
2.      Takikardia dan takiaritmia.
3.      Lama kerja yang memanjang terutama kadar enzim kolinesterase plasma berkurang .
4.      Peninggian tekanan intraokuler, hati-hati pada glaukoma.
5.      Blok fase II terutama pada pemberian berulang atau dosis tinggi.
6.      Lama kerja yang memanjang terutama pada penyakit hati parenkimal, kaheksia dan anemia (hipoproteinemia).
7.      Hiperkalemia, karena itu harus berhati-hati pada luka bakar atau gagal ginjal.
8.      Nyeri otot pasca fasikulasi.

Antagonis Pelumpuh Otot Non Depolarisasi

·               Neostigmin metilsulfat (prostigmine).
Farmakologik :
Merupakan antikolinesterase yang dapat mencegah hidrolisis dan dapat menimbulkan  akumulasi  asetilkolin. Obat ini mengalami metabolisme terutama oleh kolinesterase serum dan bentuk obat utuh sebagian besar diekskresi melalui ginjal.

Efek samping :
Mempunyai efek nikotinik, muskarinik dan merupakan stimulan otot langsung. Efek muskarinik antara lain; menyebabkan bradikardi, hiperperistaltik dan spasme saluran cerna, pembentukan sekret jalan nafas dan kelenjar air liur, bronkospasme, berkeringat, miosis dan kontraksi vesika urinaria.

 Cara mengatasi masalah yang timbul dalam pemberian obat :
Sebagian efek ini dapat dihambat dengan atropin sulfat.

Dosis : 0.5 mg bertahap hingga 5 mg. Biasanya diberikan bersama-sama atropin dengan dosis 1-1,5 mg.

VI.         Barbiturat
Barbiturate selama beberapa saat telah digunakan secara ekstensif sebagai hipnotik dan sedative. Sectara kimiawi barbiturate merupakan derivate asam barbiturate ( 2,4,6 – trioksoheksahidropiremidin). Asam barbiturate sendiri tidak menyebabkan depresi susunan saraf pusat, efek hipnotik dan sedative serta efek lainanya ditimbulkan bila pada posisi lima ada gugusan alkyl atau aril.
           
            Sekobarbital ( seconal ):
                        Penggunaan    :  pemedikasi, sedasi hypnosis, antikonfulsan.
Dosis           :  premedikasi/sedasi. i.m 4-5 mg/kg  (satu tempat tidak boleh lebih dari 250 mg). Per oral 100 – 300 mg ( anak – anak 2 – 6 mg kg/bb, dosis maksimum 100 mg). Per rectal 4 – 5 mg/kg ( encerkan larutan yang dapat disuntikan dengan air hingga suatu konsentrasi 10 – 15 mg/ml). Hipnosis : titrasi i.v, dosis rerata 50 – 100 mg, jangan remelebihi 50 mg per periode 15 menit, dosis total lebih dari 250 mg tidak dianjurkan. Antikonvulsan : lambat i.v. atau i.m ; 250 – 350 mg ( 5,5 mg/kg), ulangi setiap 3 – 4 jam sesuai indikasi.

Eliminasi         :  hati.

Kemasan         :  suntikan 50 mg/ml, tablet 100 mg, capsul 50 mg dan 100 mg, suntikan rectal 50 mg/ml.
Penyimpanan  :  suntikan/suntikan rectal; didinginkan (20 – 80 C). lindungi dari cahaya. Tablet/capsul; suhu kamar (15o – 300 C).

Farmakologi   :
Barbiturate beraksi pendek ini mendepresi kortek sensorik, mengurngi aktifitas motorik, mengubah fungsi cerebral, dan menimbulkan rasa mengantuk yang tergantung dosis, sedasi, dn hypnosis. Dengan adanya nyeri akut atau kronis dapat menimbulkan eksitasi paradoksik pada menula dan anak – anak. Dosis induksi mmenimbulkan depresi pernapasan dan mengurangi tahanan vakuler dan perifer, tekanan arteri, curah jantung, tekanan perfusi koroner.

Farmakokinetik:
Awitan aksi     :  i.v. hammpir segera; pengobatan peroral 10 – 30 menit; i.m/ rectal, 15 – 30 menit.
Efek puncak    :    i.v. 1 menit
Lama aksi       :    i.v. 15 menit ( bangun ), 3 – 4 jam ( efek sedative ); pengobatan oral/ i.m./ rectal, 6 – 8 jam ( efek sedative).
Interaksi/toksisitas;  mempotensiasi SSP dan efek depresi sirkulasi narkotik, seatif hipnotk, alcohol, anestetik volatile; mengurangi efek antikoagulan oral, digoksin, penyekat beta, kortikosteroid, kuinidin, teofilin; aksi diperpanjang inhibitor MAO, klorampenikol; suntikan arteri atau ekstravaskuler menibulkan nekrosis, gangrene.

Pedoman/peringatan : 
1.      Penggunaannya merupakan kontra indikasi pada pasien dengan riwayat porpiria yang manifest atau laten atau status asthmatukus dan dengn adanya nyeri akut atau kronis.
2.      Menggunakan dengan hati – hati pada pasien dengan hipertensi, hipovolema, penyakit jantung iskemik, insufisiensi adrenokortikal akut, uremia, dan septicemia, dan untuk persalinan obstetric.
3.      Kurangi dosis pada pasien manula, hipovolemik, dan pasien bedah beresiko tinggi dan pada penggunaan bersama fentolamin ( 5 – 10 mg dlm 10 ml ns ) dan jika perlu, blok simpatis.
4.      Terapi suntikan intraarteri melaui infiltrasi local fentolamin ( 5 – 10 mg dalam 10 ml ns ) dan, jika perlu, bloksmpatis.
5.      Gunakan rute i.v. Hanya dalam keadaan darurat.


Reaksi samping utama :
Kardiovaskuler    : brakikardi, hipotensi.
Pulmoner             : depresi pernafasan, apnoe, laringospasme, bronchospasme.
Pada SSP           :  somnolensi, eksiasi paradoksik, ataksi, kebingugan.iapp
Pada GI             :  mual, muntah, konstipasi, diare.
Alergik              :  ruam, urtikaria, edema angioneurotik.
Dermatologi      :  nikrosis, gangren pda suntikan intra arteri.


VII.      Menejemen Obat
1.                  Tujuan Mengelola Obat
Penggunaan obat hanya merupakan dalah satu pelayanan kesehatan tetapi merupakan yang paling penting. Tujuan dan menejemen obat secara bijaksanan dan menghindarkn pemborosan dan dengan demikian dapat memenuhu kebutuhan pasien.

2.                  Mempersiapkan Daftar Obat Sekunder
untuk mempersiapkan obat-obat standar biasanya dibuat oleh pengawas atau petugas medis dan sedapat dapatnya harus dipilih dari daftar obat esensial nasional.
            Tata cara mengubah daftar obat standar:
a.          Pelajarilah daftar mengenai penyakit yang ditangani oleh unit kesehatan dalam 6 bulan terakhir. Apakah ada penyakit yang tidak terdapat obat-obatan yang diperlukan dalam daftar itu, bila demikian tambahkanlah obat tersebut pada daftar dan usulkan pada pengawas.
b.      Peajari daftar obat standar dan crilah adanya duplikasi, yakni  dua tau lebih obat yang digunakan untuk tujuan yang sama. Bila bemikian, pilihlah satu obat untuk masing-masing tujuan dan singkirkan yang lain dari daftar itu.
c.           Apakah ada obat – obatan yang  kuno, yang tidak dipakai lagi, singkirkan obat – obatan kuno dan yng tdak terpakai dari daftar dan dari rak.  
Daftar kebutuhan
Obat “A”
Obat “B”
1.      efektifitas
2.      efek samping
3.      toksisitas
4.      harga
+
Kadang-kandang perdarahan
Rendah
Murah
+
-
Lebih besar dari “A”
Mahal

Untuk memilih obat yang tepat adalah obat itu efektif, aman, mudah diberikan dan harganya murah.


3.                  Memperkirakan Jumlah Obat Yang Diperlukan
Cara  menhitung keperluan obat dapat dihitung dengan menggunakan rumus sbb:

Dosis total rata-rata                  Jumlah pasien yang biasanya meng
Pemberian obat               X       gunakan obat tersebut, diantara
                                                   Selang waktu pemberian
Contoh!
Di rumah sakit tipe C dalam sehari melakukan tindakan OP 4 kali, dengan menggunakan obat muscolus relxan sebelum tindakn anestetai yaitu atrakurium besilat. Rata – rata 1 pasien beratnya 50 kg dan menggunakan atrakurium 25 mg sesuai dosis ( 0,3 – 0,5 mg ). Jadi oabat yang harus disediakan untuk 3 bulan kedepan adalah:
Jawaban!

25    X  4  X 90 = 9000 mg
Dalam 1 kemasan mengandung 10 mg, maka obat yang harus disediakan untuk tiga bulan kedepan sebanya : 9000 : 10 = 900 kemasan.

















VIII.   Pustaka
Muhiman, Muhardi; M. Roesli Thaib; S. Sunatrio; Ruswan Dahlan, 1989,Anestesiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakrta.
Latief, Said A.; Kartini A. Suryadi; M. Ruswan Dachlan, 2002, Petunjuk Praktis Anestesiologi, Edisi Kedua,Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
S., Melfiawati, 1997, Buku Saku Obat – Obat Anestesia,EGC, Jakarta.
McMahon, Rosemary; Barton, Elizabeth; Piot, Maurice, 1999, manajemen         pelayanan kesehatan primer, edisi 2, EGC, Jakarta.
Ganiswarna,Sulistia G. dkk, 2003, Farmakologi dan terapi, edisi 4, Gaya baru, Jakarta.











1 komentar: